<p>Ilustrasi perlindungan data pribadi. / Pixabay</p>
Tren Global

Transfer Data ke AS Disetujui, RI Didesak Perkuat Aturan Privasi

  • Tanpa adanya regulasi pelaksana dan lembaga pengawas, komitmen Indonesia untuk melindungi hak digital bagi warganya akan sulit diterjemahkan dalam kebijakan yang operasional dan berdaya guna.

Tren Global

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Pernyataan resmi dari Gedung Putih yang mengungkapkan Indonesia akan memberikan kepastian terhadap mekanisme transfer data pribadi ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat, menjadi babak baru dalam hubungan digital antara kedua negara. 

Pernyataan ini tidak hanya ekspresi teknokratis dalam konteks kerja sama perdagangan digital, tetapi juga mengandung makna geopolitik yang perlu dicermati secara cermat oleh Indonesia.

Terlepas dari sejumlah kekhawatiran soal keamanan data, momen ini dinilai dapat menjadi peluang strategis untuk mempercepat penguatan tata kelola data nasional yang berdaulat, modern, dan adaptif terhadap tantangan global.

Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, mengatakan sebagai negara demokratis yang sedang membangun fondasi transformasi digital, Indonesia memiliki kepentingan untuk membuka diri terhadap arus data global.

“Keterlibatan tersebut harus tetap menjunjung tinggi prinsip kedaulatan digital, yakni hak negara untuk mengatur, melindungi, dan memastikan bahwa semua aktivitas digital, termasuk pengelolaan data pribadi warga negaranya, berada dalam kendali hukum nasional,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis, 24 Juli 2025.

Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi landasan hukum yang sangat relevan. UU PDP tidak secara mutlak melarang transfer data pribadi ke luar negeri. 

Justru, Pasal 56 membuka ruang legal bagi transfer data lintas batas, asalkan negara tujuan memiliki tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi dibandingkan Indonesia, atau jika terdapat perjanjian internasional yang mengikat.

Di sinilah letak signifikansi dari Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi (LPPDP), yang kelak bertugas mengevaluasi secara objektif apakah negara tujuan, termasuk Amerika Serikat, memenuhi standar yang ditetapkan.

Oleh karena itu, kolaborasi dengan Amerika Serikat dalam hal arus data dapat menjadi pemicu positif untuk mempercepat penyusunan Peraturan Pemerintah (PP PDP) sebagai aturan teknis pelaksana dari UU PDP, sekaligus mempercepat pembentukan LPPDP yang independen dan berwenang. 

Pratama mengatakan tanpa adanya regulasi pelaksana dan lembaga pengawas, komitmen Indonesia untuk melindungi hak digital bagi warganya akan sulit diterjemahkan dalam kebijakan yang operasional dan berdaya guna.

Di sisi lain, Indonesia tidak boleh mengabaikan potensi risiko yang muncul dari aliran data lintas negara. Di era ketika data telah menjadi komoditas strategis layaknya energi atau sumber daya mineral, negara-negara besar menjadikan penguasaan data sebagai alat untuk memperluas pengaruh global.

“Ketika data pribadi warga Indonesia dikirim ke luar negeri, terutama ke negara seperti Amerika Serikat yang hingga kini belum memiliki undang-undang perlindungan data di tingkat federal yang setara dengan GDPR, maka kekhawatiran terhadap kemungkinan akses oleh pihak asing, termasuk korporasi teknologi dan lembaga keamanan, menjadi isu yang patut diwaspadai,” ungkap dia.

Namun, tantangan ini seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menutup diri. Sebaliknya, Indonesia perlu mengambil kepemimpinan normatif dengan merumuskan standar evaluasi objektif terhadap negara tujuan transfer data.

Jika perlu, dapat dirancang perjanjian bilateral yang menjamin perlindungan hak-hak digital warga negara Indonesia, seperti hak untuk dihapus, hak atas pemberitahuan, dan hak untuk menggugat pelanggaran privasi, meskipun data berada di luar negeri.

Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan sekadar mengikuti arus global, tetapi turut membentuknya berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan digital.

Ia mengatakan, secara geopolitik, keterlibatan Indonesia dalam kerja sama transfer data perlu tetap berpijak pada prinsip non-blok digital yang telah menjadi ciri khas diplomasi siber Indonesia.

Di tengah ketegangan antara Amerika Serikat dan China, Indonesia harus memainkan peran sebagai penopang stabilitas digital di kawasan ASEAN, dengan mengedepankan model tata kelola data yang berbasis pada inklusivitas, kedaulatan, dan keadilan lintas batas.

Pendekatan ini juga akan memperkuat posisi tawar Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti G20, Pertemuan Menteri Digital ASEAN, dan Forum Tata Kelola Internet PBB (UN IGF).

“Lebih dari sekadar isu keamanan, pengelolaan data yang terarah juga memiliki kaitan erat dengan peningkatan nilai ekonomi digital. Data pribadi serta perilaku digital warga Indonesia merupakan sumber daya penting bagi pengembangan kecerdasan buatan, layanan berbasis algoritma, dan berbagai inovasi teknologi,” paparnya.

Tanpa tata kelola yang baik, data tersebut berisiko hanya menjadi komoditas mentah yang dimanfaatkan oleh pihak asing untuk menciptakan produk dan layanan, yang kemudian dijual kembali ke pasar Indonesia.

“Oleh karena itu, peran negara sangat penting untuk memastikan bahwa potensi ekonomi dari data dapat dimaksimalkan bagi kepentingan masyarakat dan pelaku industri nasional,” tutur Pratama Persadha.

Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur digital nasional, riset teknologi domestik, serta pengembangan talenta digital lokal harus menjadi prioritas. Transfer data lintas batas tidak seharusnya melumpuhkan upaya Indonesia dalam mewujudkan kemandirian teknologi.

Sebaliknya, kerja sama internasional dapat diarahkan untuk mempercepat alih teknologi, kolaborasi riset, dan investasi yang memperkuat ekosistem digital Indonesia.

Kesepakatan mengenai transfer data bukan titik akhir perjalanan, melainkan langkah awal menuju penguatan konsolidasi nasional dalam tata kelola data. Pemerintah Indonesia dituntut untuk membangun sistem yang tidak hanya sesuai dengan ketentuan hukum, tetapi juga memiliki legitimasi publik dan kapabilitas teknis.

Dengan kerangka hukum yang kokoh, lembaga pengawas yang independen, dan diplomasi digital yang berdaulat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama, bukan sekadar objek dalam membentuk tatanan data global yang lebih adil dan berkelanjutan.