
Tragedi Gajah di Perak dan Potret Deforestasi Malaysia
- Sebuah studi tahun 2016 yang disampaikan Menteri Sumber Asli dan Kelestarian Alam Malaysia, Nik Nazmi, mencatat bahwa habitat gajah di Malaysia telah menyusut hingga 68%, mempersempit ruang gerak dan memaksa mereka masuk ke wilayah manusia demi bertahan hidup.
Dunia
PERAK - Pukul 02.50 dini hari, Minggu, 11 Mei 2025, suasana jalan tol Timur-Barat di negara bagian Perak, Malaysia, yang biasanya sunyi, mendadak berubah haru.
Seekor truk melaju di tengah kabut tebal yang menyelimuti jalan. Di depannya, seekor anak gajah yang sedang melintas tak sempat menghindar, benturan keras pun terjadi, anak gajah itu tewas seketika.
Namun yang lebih memilukan bukan hanya kematiannya. Beberapa menit kemudian, seekor induk gajah datang dan berdiri lama di samping bangkai anaknya dan truk yang rusak parah.
Dalam video yang direkam warga dan viral di media sosial, sang induk terlihat mondar-mandir gelisah, sesekali menyentuh tubuh anaknya, seolah tak percaya kenyataan yang terjadi. Netizen di Malaysia dan Indonesia membanjiri kolom komentar dengan ungkapan duka dan kemarahan.
Petugas dari Departemen Perlindungan Satwa Malaysia yang datang ke lokasi akhirnya membius induk gajah itu agar bisa dipindahkan dari jalan. Bangkai anak gajah baru bisa dikubur keesokan harinya pukul 11.00.
Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan. Ia adalah cermin dari konflik mendalam antara manusia dan alam, yang dipicu oleh arah pembangunan yang seringkali mengabaikan keberadaan makhluk hidup lain.
- Apa Itu Padel? Olahraga Mirip Tenis yang Kian Populer
- Kenapa Harga Kelapa Semakin Mahal?
- Akhirnya Bebas, Dua Dekade Alex Denni jadi Korban Kriminalisasi
Gajah, Jalan Tol, dan Krisis Habitat yang Diciptakan Manusia
Menteri Sumber Asli dan Kelestarian Alam Malaysia, Nik Nazmi, menyebut insiden tersebut menyentuh hati banyak orang dan mengakui bahwa lokasi kejadian merupakan area rawan konflik antara manusia dan satwa liar.
Pernyataan ini memperkuat fakta bahwa banyak pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol, dilakukan dengan mengorbankan jalur alami migrasi dan habitat satwa seperti gajah.
Bukan tanpa sebab gajah berada di jalan tol. Habitat mereka yang dulunya luas kini terus menyusut akibat konversi lahan menjadi perkebunan, proyek industri, dan jalan raya.
Sebuah studi tahun 2016 yang disampaikan Menteri Sumber Asli dan Kelestarian Alam Malaysia, Nik Nazmi, mencatat bahwa habitat gajah di Malaysia telah menyusut hingga 68%, mempersempit ruang gerak dan memaksa mereka masuk ke wilayah manusia demi bertahan hidup.
Antara 2020 hingga 2024 saja, tercatat 4.919 konflik manusia-gajah di seluruh Malaysia, dengan kerugian mencapai RM39,4 juta atau sekitar Rp151 miliar.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, delapan gajah tewas tertabrak kendaraan di Semenanjung Malaysia. Angka yang mencerminkan betapa gentingnya krisis ini.
- Apa Itu Padel? Olahraga Mirip Tenis yang Kian Populer
- Kenapa Harga Kelapa Semakin Mahal?
- Akhirnya Bebas, Dua Dekade Alex Denni jadi Korban Kriminalisasi
Laju Deforestasi Turun, Tapi Ancaman Hutan Alam Tetap Nyata
Sementara pemerintah Malaysia mengklaim keberhasilan dalam menurunkan laju deforestasi, kenyataannya kerusakan habitat tetap berlangsung.
Dilansir dari laman lembaga Borneo Project, Selasa, 16 Mei 2025, data periode 2016-2020 memang menunjukkan penurunan deforestasi dari 185.200 hektare menjadi sekitar 73.000 hektare per tahun, sebagian besar berkat kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) dan sertifikasi seperti MSPO dan RSPO di sektor kelapa sawit.
Namun, laporan Keadaan Hutan Hujan Malaysia 2023 mengungkapkan bahwa sekitar 2,1 hingga 3,2 juta hektare hutan alam, sekitar 14-16 persen dari tutupan yang tersisa masih berisiko hilang. Bahkan menurut analisis Gaveau, pada 2022 tutupan hutan Malaysia hanya tersisa 46,97% dari luas daratan nasional.
Penyebab utama deforestasi adalah ekspansi perkebunan kayu, yang mencakup lebih dari 76% dari ancaman yang teridentifikasi, sebagian besar terjadi di kawasan hutan utuh.
Ironisnya, banyak konsesi industri tumpang tindih dengan habitat satwa liar dan wilayah adat masyarakat Pribumi. Akibatnya, bukan hanya satwa yang kehilangan rumah, tetapi juga masyarakat lokal yang kehilangan hak dan identitas ruang hidup mereka.
Pembangunan Harus Berbasis Ekologi, Bukan Sekadar Ekonomi
Kritik tajam datang dari organisasi lingkungan RimbaWatch, yang menilai proyek infrastruktur seperti jalan tol yang memotong habitat gajah, harimau, dan tapir sebagai bentuk perencanaan yang gagal memahami lanskap ekologis. Pembangunan tersebut bukan hanya memisahkan keluarga satwa, tapi juga mempercepat degradasi dan membuka akses bagi perburuan liar.
Solusi yang diusulkan pemerintah, seperti pagar listrik, lampu peringatan, dan pusat pemantauan satwa. Meski patut diapresiasi, dinilai hanya sebagai penambal sementara yang tidak menyentuh akar masalah.
Diperlukan reformasi menyeluruh, pemerintah Malaysia bersama masyarakat adat, LSM, dan akademisi perlu membangun kerangka hukum kuat untuk melindungi Situs Alam Suci, kawasan bernilai ekologis tinggi yang dikelola secara kolaboratif. Strategi pembangunan juga harus mengintegrasikan pelestarian alam sebagai komponen inti, bukan pelengkap belaka.
Tragedi anak gajah di Perak adalah panggilan nyata untuk meninjau kembali arah pembangunan Malaysia. Ia bukan sekadar kisah pilu yang viral di media sosial, tapi simbol dari kebijakan pembangunan yang belum sepenuhnya selaras dengan prinsip keberlanjutan.