
TPIA Bukukan Laba US$1,6 Miliar, Tapi Operasi Inti Masih Berdarah
- TPIA catat laba US$1,62 miliar semester I-2025, tapi sumbernya bukan dari operasional melainkan keuntungan akuntansi akuisisi entitas anak.
Tren Pasar
JAKARTA, TRENASIA.ID – Emiten petrokimia Grup Barito Pacific, PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), mencetak laba bersih spektakuler sebesar US$1,62 miliar pada semester I-2025. Namun, angka tersebut bukan berasal dari pemulihan operasional, melainkan dari keuntungan akuntansi hasil akuisisi anak usaha.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian per 30 Juni 2025, laba ini berbalik drastis dari kerugian US$46,6 juta pada periode yang sama tahun lalu. Di permukaan, pencapaian tersebut memberi kesan lonjakan profitabilitas luar biasa. Namun jika ditelusuri lebih dalam, operasi inti TPIA masih mencatatkan kerugian kotor.
Pendapatan bersih memang melonjak menjadi US$2,93 miliar dari US$866 juta pada semester I-2024. Namun, beban pokok pendapatan juga ikut naik drastis menjadi US$3,03 miliar. Akibatnya, TPIA membukukan rugi kotor sebesar US$99,5 juta, yang mengindikasikan bahwa margin usaha masih sangat tipis, atau bahkan negatif.
Bila dirinci, pendapatan emiten Prajogo Pangestu ini berasal dari tiga segmen utama: produk olefins dan polyolefins senilai US$2,32 miliar, produk styrene monomer US$529 juta, serta pendapatan lain-lain termasuk sewa dan listrik sebesar US$84 juta. Dan penjualan masih didominasi pasar domestik, meskipun ekspor juga berkontribusi signifikan.
Laba dari Negative Goodwill Akuisisi
Oleh karena itu, laba besar yang dibukukan bukan berasal dari aktivitas produksi maupun penjualan, melainkan dari pos “keuntungan lain-lain” yang melonjak menjadi US$1,86 miliar. Kontributor utamanya adalah transaksi akuisisi ACE (perusahaan yang dimiliki Shell Singapore Pte. Ltd) yang rampung pada 1 April 2025.
Kala itu, emiten berkodekan TPIA ini mengakuisisi 100% saham ACE senilai US$253,7 juta. Namun, nilai wajar aset bersih ACE dinilai mencapai US$2,14 miliar. Selisih sebesar US$1,75 miliar diakui sebagai negative goodwill, dan langsung dibukukan sebagai laba dalam laporan laba rugi periode berjalan.
Fenomena negative goodwill ini legal dan lazim dalam akuntansi, tetapi bersifat non-tunai dan tidak mencerminkan arus kas aktual. Dengan kata lain, laba tersebut lebih bersifat keuntungan di atas kertas, bukan hasil dari perbaikan fundamental usaha.
Selain ACE, TPIA juga mengakuisisi 99,95% saham PT Banten Inti Perkasa senilai Rp129,7 miliar (sekitar US$5,35 juta) pada April 2025. Sebelumnya, TPIA juga telah membeli 70% saham PT Krakatau Chandra Energi pada Februari 2023 senilai sekitar US$148 juta. Akuisisi beruntun ini mempertegas strategi ekspansi agresif ke sektor energi dan utilitas.
Aksi korporasi tersebut berdampak besar terhadap struktur keuangan konsolidasian. Total aset TPIA melonjak menjadi US$10,38 miliar dari US$5,66 miliar di akhir 2024. Pos kas dan setara kas naik signifikan menjadi US$2,82 miliar, sementara total ekuitas meningkat menjadi US$4,87 miliar.
Arus Kas Negatif dan Beban Masa Depan
Namun, jika melihat lebih jauh ke laporan arus kas, tanda peringatan masih muncul. Arus kas dari aktivitas operasi justru mencatat defisit sebesar US$35,8 juta. Ini menandakan bahwa lini bisnis utama TPIA belum menghasilkan arus kas yang sehat, bahkan setelah seluruh ekspansi dilakukan.
Sebaliknya, arus kas dari aktivitas pendanaan mencatat kenaikan drastis hingga US$1,78 miliar. Dana tersebut berasal dari utang bank jangka panjang, penerbitan obligasi, dan kontribusi modal dari pemegang saham nonpengendali. Artinya, ekspansi besar-besaran masih mengandalkan pembiayaan eksternal.
Total liabilitas TPIA naik menjadi US$5,51 miliar, naik signifikan dari akhir 2024. Beban utamanya berasal dari utang jangka panjang yang kini mencapai US$2,62 miliar. Utang tersebut digunakan untuk mendanai strategi pertumbuhan non-organik, termasuk pembelian entitas anak dan penguatan aset tetap.
Secara keseluruhan, laporan keuangan TPIA memperlihatkan kontras yang tajam. Di satu sisi, laba bersih melonjak tajam secara nominal. Di sisi lain, profitabilitas operasional dan arus kas masih menunjukkan tekanan. Laba jumbo bukanlah sinyal pemulihan bisnis, melainkan hasil dari pencatatan keuntungan akuisisi.