
Terendah dalam Sejarah, Ini Penyebabnya dan Dampak Kejatuhan Dolar AS
- Ketegangan politik antara Trump dan Powell serta kekhawatiran terhadap independensi The Fed menekan dolar AS ke titik terendah. Dunia bersiap menghadapi perubahan lanskap mata uang global.
Tren Global
WASHINGTON – Dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan tajam terhadap hampir seluruh mata uang utama dunia, menandai salah satu penurunan paling signifikan dalam sejarah modern. Pada Kamis, 26 Juni 2025, indeks dolar (DXY) anjlok ke level 97,491, yang terendah sejak awal 2022.
Berdasarkan data perdagangan valuta asing, nilai euro melesat ke US$1,1687, tertinggi dalam 3,5 tahun. Pound sterling ikut menguat ke US$1,3690, level tertinggi sejak Januari 2022. Bahkan terhadap franc Swiss, dolar tertekan hingga 0,8033, posisi terendah sejak 2011. Angka-angka ini menunjukkan posisi dominan dolar sebagai mata uang global tengah digoyang.
Salah satu pemicu utama gejolak ini adalah meningkatnya ketidakpastian politik di Washington. Kabar bahwa mantan Presiden Donald Trump berniat mengganti Ketua Federal Reserve Jerome Powell pada September atau Oktober langsung mengguncang pasar.
"Itu akan segera keluar," ujar Trump kepada awak media di Washington, dikutip Reuters, Kamis 26 Juni 2025.
Langkah tersebut memicu kekhawatiran mendalam terhadap independensi bank sentral AS. Pelaku pasar khawatir campur tangan politik dalam kebijakan moneter akan merusak kredibilitas The Fed. Ketidakpastian ini memperbesar tekanan terhadap dolar, mendorong investor mencari alternatif yang dianggap lebih stabil.
"Jika The Fed bertindak lebih cepat, ekonomi kita bisa tumbuh lebih kuat lagi," tambah Trump.
Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga Menguat
Situasi politik tersebut berdampak langsung terhadap ekspektasi pasar atas arah suku bunga. Probabilitas pemangkasan suku bunga acuan The Fed pada Juli melonjak menjadi 25%, dari hanya 12% pada pekan sebelumnya.
Pasar kini memproyeksikan total penurunan suku bunga sebesar 64 basis poin hingga akhir 2025, meningkat dari proyeksi sebelumnya sebesar 46 bps. Penurunan ini membuat imbal hasil aset berbasis dolar menjadi kurang menarik, sehingga investor mulai melepas dolar dan beralih ke mata uang lain.
Ketegangan antara Trump dan Powell kian meruncing. Trump secara terbuka menyebut Powell sebagai sosok yang "buruk" karena dianggap lamban dalam memangkas suku bunga.
Namun, Powell tetap berhati-hati. Ia memperingatkan bahwa rencana kebijakan tarif Trump justru berisiko memicu inflasi, yang akan menyulitkan tugas The Fed menjaga stabilitas harga. Ketegangan ini menciptakan ketidakpastian arah kebijakan ekonomi AS, yang kian memperburuk sentimen pasar terhadap dolar.
Ancaman Resesi dan Perubahan Lanskap Global
Rencana Trump untuk menaikkan tarif impor juga dinilai kontraproduktif. Kenaikan tarif berpotensi mempercepat inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik. JPMorgan bahkan memperkirakan peluang resesi di AS kini mencapai 40%.
Ketidakpastian juga meningkat menjelang tenggat kesepakatan dagang pada 9 Juli, yang bisa menjadi titik kritis baru jika tak tercapai. Semua ini memperkuat narasi bahwa ekonomi AS sedang menghadapi tekanan serius dari berbagai sisi.
Di sisi lain, banyak investor global kini mulai mengalihkan dana ke euro. Optimisme terhadap pertumbuhan kawasan Eropa meningkat, terutama berkat investasi besar-besaran di sektor pertahanan dan infrastruktur.
Daya tarik dolar sebagai mata uang cadangan dunia mulai memudar, mencerminkan menurunnya kepercayaan terhadap "eksepsionalisme" ekonomi AS. Jika tren ini terus berlanjut, dunia mungkin akan menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap keuangan global.