
Tensi AS dan Iran Kerek Saham Migas, Peluang Cuan atau Hanya Euforia?
- Saham-saham migas di BEI kompak menguat pada 12 Juni 2025 seiring lonjakan harga minyak mentah Brent akibat ketegangan AS-Iran. Namun, analis memperingatkan potensi pelemahan jangka menengah.
Tren Pasar
JAKARTA – Saham-saham minyak dan gas di Bursa Efek Indonesia pada perdagangan Kamis, 12 Juni 2025, kompak menghijau. Situasi terjadi di tengah harga minyak mentah brent mengalami kenaikan pasca ketegangan Amerika Serikat dan Iran terkait perjanjian nuklir.
Berdasarkan data dari IDX Mobile pada pukul 10.38 WIB, saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) aktif diperdagangkan dengan volume transaksi mencapai 28,34 juta lembar dan nilai transaksi Rp38 miliar. Alhasil, saham minyak ini melesat 1,95% ke level Rp1.300 per saham.
Senada dengan MEDC, saham PT Elnusa Tbk (ELSA) juga menunjukkan performa positif dengan kenaikan sebesar 2,10% ke level Rp484 per saham. Bahkan, volume perdagangan emiten penunjang migas ini lebih tinggi, mencapai 65,35 juta lembar saham dengan nilai transaksi Rp32,14 miliar
- 5 Rekomendasi Asuransi Kesehatan Terjangkau untuk Gen Z dan Milenial
- Tayang di Bioskop Indonesia, Simak Review Film How to Train Your Dragon
- Info Saham Hari Ini: IHSG Tertahan di Level Kritis, Cermati Peluang ADMR hingga GOTO
Sementara itu, PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) turut bergerak di jalur hijau, meskipun dengan kenaikan yang lebih moderat. Saham RATU tercatat naik tipis 0,36% ke level Rp6.975 per saham, dengan total transaksi mencapai 11,30 juta lembar senilai Rp79,23 miliar.
Kenaikan harga saham-saham migas domestik ini berkorelasi erat dengan lonjakan harga minyak mentah di pasar global. Pada penutupan perdagangan Rabu, 11 Januari 2025, harga minyak acuan Brent untuk kontrak Agustus 2025 melonjak 4,3% menjadi US$69,77 per barel.
Serupa, harga minyak acuan West Texas Intermediate (WTI), patokan harga minyak mentah (Amerika Serikat) juga mengalami kenaikan dengan persentase yang sama. Bahkan, harga ini mencapai level tertingginya sejak April 2025.
Info saja, pemicu utama gejolak harga minyak ini berkelindan dengan tensi geopolitik di Timur Tengah kembali memanas. Ketegangan meningkat seiring Pentagon mengizinkan keluarga personel militer untuk meninggalkan kawasan tersebut.
Langkah ini kemudian dikonfirmasi oleh Presiden AS yang juga menyatakan kurang yakin akan tercapainya kesepakatan nuklir baru dengan Iran. Situasi semakin membuat pasar gelisah setelah Menteri Pertahanan Iran menegaskan negaranya tidak akan ragu menargetkan aset-aset militer Amerika sebagai respons atas potensi serangan.
Investment Analyst Stockbit Sekuritas, Hendriko Gani, pun mengatakan bahwa kenaikan saham minyak domestik memang terkait sentimen geopolitik dari Timur Tengah menjadi katalis positif jangka pendek bagi saham-saham berbasis komoditas energi.
"Kenaikan harga minyak mentah dunia secara langsung meningkatkan potensi pendapatan emiten migas seperti MEDC, ELSA, dan RATU, sehingga menarik minat beli investor di pasar," kata Hendriko dalam ulasannya pada Kamis, 12 Juni 2025.
Proyeksi Jangka Panjang Tunjukkan Potensi Pelemahan
Sementara itu, Managing Director Onyx Capital, Jorge Montepeque, menilai berbeda. Ia mengatakan, “Lonjakan harga minyak Brent pada hari Rabu adalah reaksi berlebihan yang menunjukkan bahwa pasar didominasi posisi short dan penuh dengan kegelisahan,” dikutip dari Financial Times.
Nah, posisi 'short' yang dimaksud merupakan sebuah strategi atau taruhan di pasar keuangan, di mana seorang investor berspekulasi bahwa harga suatu aset, dalam hal ini minyak, akan mengalami penurunan dalam jangka pendek.
Pandangan ini sejalan dengan laporan J.P. Morgan Research yang dipublikasi pada Mei 2025, yang juga menurunkan proyeksi harga minyak global, khususnya acuan Brent, menjadi US$66 per barel untuk tahun 2025 dan US$58 per barel untuk tahun 2026.
Perlu dicatat, proyeksi ini dibuat J.P Morgan Research dengan mempertimbangkan lemahnya permintaan global serta potensi peningkatan pasokan dari negara-negara produsen utama seperti Uni Emirat Arab, Kazakhstan, dan Irak.
Lebih lanjut, J.P. Morgan menekankan bahwa meskipun pemerintahan AS bersikap pro-energi fosil, mereka justru menginginkan harga minyak yang lebih rendah sebagai upaya pengendalian inflasi.
“Sektor energi tidak termasuk dalam cakupan ‘Trump put’, karena pemerintah justru memprioritaskan harga minyak yang lebih rendah untuk mengendalikan inflasi,” papar Natasha Kaneva, Head of Global Commodities Strategy, J.P. Morgan.
Oleh karena itu, meski ketegangan geopolitik bisa mendorong harga dalam jangka pendek, arah jangka menengah masih mengarah ke penurunan. Bahkan, J.P. Morgan memperingatkan bahwa strategi negara produsen yang meningkatkan pasokan untuk memaksimalkan pendapatan berpotensi memicu reset pasar baru antara tahun 2025 dan 2026.