
Tayang di Bioskop Indonesia, Simak Review Film How to Train Your Dragon
- Bagi penggemar film animasi, How to Train Your Dragon tayang di bioskop Indonesia pada Rabu, 11 Juni 2025. Film ini kembali digarap oleh sutradara Dean DeBlois dan menampilkan deretan bintang ternama seperti Mason Thames, Nico Parker, serta Gerard Butler.
Tren Leisure
JAKARTA – Bagi penggemar film animasi, How to Train Your Dragon tayang di bioskop Indonesia pada Rabu, 11 Juni 2025. Film ini kembali digarap oleh sutradara Dean DeBlois dan menampilkan deretan bintang ternama seperti Mason Thames, Nico Parker, serta Gerard Butler.
How to Train Your Dragon adalah film animasi populer dan kini diangkat ke dalam versi live-action oleh Universal Pictures. Adaptasi ini menjadi sorotan, khususnya bagi para penggemar petualangan Hiccup dan Toothless.
Waralaba ini pertama kali hadir pada tahun 2010, dilanjutkan dengan How to Train Your Dragon 2 pada 2014, dan ditutup dengan The Hidden World yang dirilis pada 2019 sebagai bagian akhir dari trilogi. Buat kalian yang belum menonton film animasi ini, berikut reviewnya.
- Paradoks Nikel: PDB Melonjak, Kemiskinan di Daerah Tambang Menganga
- Cum Date ADRO Besok, Butuh Berapa Lembar Saham untuk Dapat Dividen Setara iPhone 16?
- Link War Tiket Konser BLACKPINK Jakarta 2025, Plus Jadwal dan Harga
Review Film How to Train Your Dragon
Adaptasi live-action dari film animasi kesayangan sudah sangat umum belakangan ini. bahkan, Disney telah merilis dua judul sebelum pertengahan tahun 2025. Namun, versi baru How to Train Your Dragon menawarkan sesuatu yang sedikit berbeda. Ini adalah pertama kalinya remake semacam ini disutradarai oleh orang yang sama dengan versi animasinya.
Dengan tetap setia pada kisah asli tentang Hiccup, seorang Viking muda, dan persahabatannya dengan naga jinak bernama Toothless, Dean DeBlois menciptakan situasi unik di mana ia menjadi sangat setia pada dirinya sendiri.
Meski ada perluasan peran untuk beberapa karakter pendukung, How to Train Your Dragon versi 2025 terasa sangat mirip dengan versi tahun 2010 yang dibuat DeBlois bersama Chris Sanders, bahkan dalam banyak adegan terasa seperti salinan satu per satu.
Banyak adegan aksi, lelucon, dan dialog yang diambil langsung dari versi sebelumnya. Namun yang paling penting, film ini tetap berhasil menangkap inti cerita yang kuat, perjuangan Hiccup (Mason Thames) untuk menjembatani perdamaian antara kaumnya dan para naga.
Baik kisah itu ditampilkan lewat animasi digital maupun oleh aktor sungguhan, ceritanya tetap menarik. Inilah yang membuat Dean DeBlois dan timnya berhasil menyajikan versi ulang yang cukup solid dari How to Train Your Dragon.
Bagian sepertiga awal film mungkin terasa paling canggung dan sulit untuk dinikmat, beberapa adegan slapstick yang konyol tampak dipaksakan dan kurang cocok dalam format live-action. Di sinilah peran Mason Thames sebagai Hiccup sangat membantu, karakternya yang simpatik dan mudah disukai memberikan keseimbangan di tengah kekacauan bergaya kartun.
Meski begitu, penampilannya sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dari versi yang dibawakan Jay Baruchel dalam berbagai film dan serial animasi yang berlatar di pulau fiksi Berk. Bahkan, sering kali terasa seperti Thames sengaja mencoba meniru suara Hiccup versi animasi dan hasilnya cukup meyakinkan.
Nico Parker tampil tangguh dan karismatik sebagai Astrid, pejuang muda berjiwa kuat yang diam-diam disukai Hiccup. Namun, Gerard Butler yang justru paling mencuri perhatian lewat perannya sebagai Stoick, ayah Hiccup.
Awalnya, sulit untuk tidak tersenyum melihat bintang 300 dan Olympus Has Fallen mengenakan helm bertanduk besar dan janggut lebat. Tapi di balik kostum mencolok itu, Butler menyuguhkan penampilan yang benar-benar mengesankan.
Ia jelas sudah sangat memahami karakter Stoick luar dan dalam, dan berhasil menampilkan sisi keras kepala sekaligus penuh kasih dari sang ayah.
Ia juga memiliki chemistry yang kuat dengan Mason Thames, terutama dalam adegan perdebatan mengenai kemungkinan perdamaian antara bangsa Viking dan para naga. (Hubungannya dengan Nick Frost, yang memerankan sahabat Stoick, Gobber, juga terasa alami dan menyenangkan.)
Dengan tetap mempertahankan alur dan penyelesaian cerita yang sama, Viking memerangi naga, Hiccup menyadari bahwa naga bukanlah ancaman, lalu mereka bekerja sama melawan seekor naga raksasa, naskah film How to Train Your Dragon versi terbaru ini bermain cukup aman.
Karakter tetua desa, Gothi (Naomi Wirthner), mendapat porsi peran yang lebih besar, dan ada subplot kecil yang menyoroti hubungan ayah-anak antara Spitelout (Peter Serafinowicz) dan Snotlout (Gabriel Howell). Namun tambahan-tambahan ini tidak banyak menyimpang dari versi aslinya.
Film ini memang terasa kurang segar dibandingkan, misalnya, Lilo & Stitch versi baru (kebetulan juga remake live-action dari karya kolaboratif DeBlois dan Sanders). Meski begitu, film ini tetap berhasil menjadi versi yang menyentuh dari cerita yang sudah dikenal.
Dalam debutnya menyutradarai film live-action, Dean DeBlois menunjukkan kemampuan kuat dalam mengarahkan aktor serta mengelola adegan aksi, terutama dalam beberapa momen penting saat Hiccup dan Toothless terbang bersama.
Namun, seperti banyak aspek lainnya dalam film ini, adegan-adegan tersebut terasa seperti pengulangan dari keputusan penyutradaraan yang sudah dibuatnya bersama Sanders 15 tahun lalu.
Namun keberhasilannya dalam menerjemahkan nuansa emosional dari film animasinya tidak bisa diremehkan. Banyak remake live-action gagal mempertahankan daya tarik versi aslinya, seperti The Lion King 2019.
Tapi meskipun penuh kemiripan, versi baru How to Train Your Dragon ini tetap berhasil menangkap jiwa dan semangat dari versi pertamanya.
Musik dari John Powell yang diperbarui juga berperan besar, meski ini semacam cover dari karya lamanya, komposisi seperti Test Drive yang muncul saat Hiccup berhasil terbang bersama Toothless untuk pertama kalinya, tetap mampu membangkitkan emosi setiap kali dimainkan.
Kisah persahabatan antara Hiccup dan Toothless memang sekuat itu. DeBlois mungkin terlalu berhati-hati dalam mengulang keberhasilan masa lalunya, tapi cintanya pada para karakter ini masih begitu terasa.
Dan keterikatan itu memancar jelas di layar. Sulit untuk tidak ikut terbawa perasaan saat melihat seberapa jauh Hiccup dan Toothless saling berkorban satu sama lain, meskipun kita sudah tahu ke mana cerita itu akan bermuara.
Versi live-action How to Train Your Dragon sangat setia pada film animasinya, hampir dalam setiap aspek, hingga terasa berulang bagi mereka yang sudah menonton versi aslinya.
Namun di sisi lain, upaya penulis sekaligus sutradara Dean DeBlois untuk menghidupkan kembali cerita yang ia kisahkan 15 tahun lalu memperlihatkan bahwa ia masih sangat mencintai dunia dan karakter-karakter ini. Hal itu memberi versi baru How to Train Your Dragon kedalaman emosional yang cukup mengesankan.
- Harga Sembako di Jakarta Hari Ini: Cabe Rawit Ijo Besar Naik Hampir 14 Persen!
- LQ45 Hari Ini Dibuka Melemah Tipis, MEDC dan AMMN Malah Melejit
- Lanjutkan Tren Positif, IHSG Hari Ini Dibuka Naik 6 Poin
Film ini tetap memancarkan hati dan jiwa, menunjukkan bagaimana DeBlois mampu terus menghidupkan kisah penuh kasih antara seorang anak Viking dan naga yang menjadi sahabatnya.
Meski terkadang terasa terkungkung oleh keinginan untuk tetap persis dengan versi animasi, film ini berhasil membangkitkan kembali kehangatan dan kekuatan emosional dari cerita dan gambar-gambar ikonis yang dulu melekat di benak penontonnya.