WhatsApp Image 2025-07-26 at 02.45.02.jpeg
Tren Ekbis

Tarik Ulur Potongan Aplikasi dan Status Ojol: Jalan Tengah yang Masih Abu-abu Antara 2 Kubu

  • Topik utama dalam FGD adalah soal potongan komisi. Selama ini, aplikator seperti Gojek dan Grab memotong sekitar 20% dari total biaya layanan yang dibayar konsumen. Sebagian pengemudi merasa angka ini terlalu besar.

Tren Ekbis

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Isu seputar potongan komisi dan status kerja ojek online (ojol) di Indonesia makin memanas. Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat, berbagai forum hingga aksi jalanan justru memperlihatkan betapa dalamnya perpecahan di antara sesama pengemudi, komunitas, bahkan antarorganisasi.

Puncaknya terjadi pada Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Kamis, 24 Juli 2025. Forum yang seharusnya menjadi ajang dialog konstruktif justru berakhir dengan persinggungan antara dua kubu. 

FGD tersebut mengundang 16 komunitas dan asosiasi pengemudi ojol. Namun, hanya dua asosiasi yang secara tegas mendukung potongan aplikasi sebesar 10%. Sisanya menolak.

Tuntutan 10% Harga Mati

Topik utama dalam FGD adalah soal potongan komisi. Selama ini, aplikator seperti Gojek dan Grab memotong sekitar 20% dari total biaya layanan yang dibayar konsumen. Sebagian pengemudi merasa angka ini terlalu besar.

Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, bahkan menyebut bahwa usulan ini sudah dikaji sejak 2020. Ia mengacu pada hasil kajian akademik yang menyebut potongan ideal berada di kisaran 11,6% dengan sistem zonasi. Tapi, menurut Igun, angka 10% sebaiknya dijadikan patokan nasional agar tidak memicu kecemburuan antarpengemudi di daerah berbeda.

“Kita maunya semua rata 10% saja. Biar adil,” kata Igun dalam konferensi pers Aliansi Korban Aplikator di Jakarta, Jumat, 25 Juli 2025.

Namun dalam FGD Bersama Kemenhub, justru terjadi perdebatan panas antara pengemudi yang berada di dua kubu berbeda: satu pihak yang mendukung penurunan potongan dan pihak lainnya yang tetap mendukung skema lama.

“Ada kelompok-kelompok yang menolak potongan 10% dan tetap mempertahankan angka 20% sehingga pada saat FGD 25 Juli 2025 timbullah kekisruhan yang pada akhirnya berujung pada kericuhan fisik antar kelompok di luar lokasi FGD. Nah, kekisruhan ini juga membuat publik melihat perbedaan pendapat,” ujar Igun.

Kritik pun diarahkan kepada pihak Kemenhub yang dianggap tidak mampu menjaga netralitas dan justru memberikan ruang kepada pihak-pihak yang dinilai tidak representatif bagi aspirasi mayoritas pengemudi. 

"Kekisruhan yang terjadi Jadi setelah FGD ini, Kementerian Perhubungan harus tanggung jawab mengenai hal ini termasuk perusahaan aplikasi. Hal ini terjadi karena lambatnya proses keputusan mengenai permintaan atau tuntutan dari publik, teman-teman, kawan-kawan dari pengemudi online mengenai potongan aplikasi 10%," kata Igun.

Igun pun menyebutkan bahwa dalam FGD Bersama Kemenhub, dibahas pula mengenai tarif yang dipertimbangkan untuk dinaikkan agar para mitra driver bisa mendapatkan pendapatan yang lebih besar, namun Igun menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah urgensi. 

“Tarif ini belum jadi urgensi.  Namun, urgensi saat ini adalah tolong Kemenhub ini mengatur dulu mengenai potongan karena kalau yang diatur duluan adalah tarif, yang terdampak langsung adalah konsumen atau pengguna jasa yang pada akhirnya akan menimbulkan efek domino. Baik domino secara ekonomi, maupun kestabilan ekosistem,” tuturnya. 

Baca Juga: Ekonom: Penurunan Komisi Aplikator dapat Hancurkan Industri, Ojol Juga Bisa Terdampak

Salah satu hal yang disoroti oleh Aliansi Korban Aplikator pada FGD pekan lalu adalah munculnya dugaan intimidasi terhadap peserta FGD dari kalangan pro-potongan 10%. Menurut kesaksian dari Eza, Kepala Divisi Hukum Garda, perwakilan dari Jambi sempat ditegur secara tidak pantas oleh salah satu oknum dari Kemenhub.

“Ada yang bilang, ‘Kamu dari Jambi? Jangan memalukan Jambi.’ Kenapa diintimidasi seperti itu?” kata Eza. Ia menambahkan, para peserta datang menggunakan ongkos pribadi untuk menyuarakan aspirasi, bukan untuk membuat keributan.

Sementara itu, Rudi Hartono Tambunan dari Aliansi Korban Aplikator juga mempertanyakan keabsahan salah satu undangan yang hanya tertulis sebagai “Koordinator Wilayah Jakarta Utara” tanpa identitas jelas.

“Apakah ini preman? Tukang pukul? Ormas? Kami duga ini setingan untuk membuat situasi tidak kondusif. Harus dipertanggungjawabkan oleh Kemenhub,” tegas Rudi.

Menurut Aliansi, tamu undangan yang dipertanyakan keabsahan identitasnya ini adalah salah satu faktor pemicu kericuhan yang terjadi sehingga menimbulkan suasana yang tidak kondusif. 

URC Tegaskan Pihaknya Berkomitmen untuk Ojol ‘Asli'

Di pihak yang lain, Unit Reaksi Cepat (URC) menyesalkan adanya tindakan provokatif dari sejumlah pihak yang dinilai tidak merepresentasikan semangat diskusi yang seharusnya.

Menurut Penanggung Jawab URC Bergerak, Suharto, kericuhan yang terjadi saat forum berlangsung bukanlah murni hasil perbedaan pendapat antar pengemudi, melainkan lebih pada upaya segelintir oknum yang memanfaatkan forum tersebut untuk kepentingan tertentu. Ia menyebut forum yang seharusnya menjadi ajang penyampaian aspirasi dan solusi justru dipenuhi narasi provokatif yang tidak membangun.

“Sangat disayangkan, di forum yang baik dan terhormat seperti itu, ada oknum-oknum yang malah menyulut provokasi. Bukan menyampaikan pendapat yang konstruktif, tapi malah menggiring suasana jadi tegang,” ujar Harto saat ditemui wartawan, Minggu, 27 Juli 2025.

Harto juga mengungkapkan kekhawatirannya soal kehadiran sejumlah peserta forum yang diduga bukan berasal dari kalangan pengemudi ojol. Ia menuding bahwa ada pihak yang sengaja mengatasnamakan ojol padahal tidak memiliki akun resmi di platform aplikasi transportasi daring.

“Kami menduga ada peserta yang bukan driver ojol tapi bicara seolah mewakili kami. Kami belum tahu pasti apa motifnya, tapi ini sangat mencurigakan dan bisa menyesatkan opini publik,” jelasnya.

Menurut URC, keberadaan oknum seperti ini tidak hanya membahayakan kredibilitas komunitas driver, tapi juga dapat mengganggu proses pengambilan keputusan yang seharusnya berlandaskan pada data dan aspirasi nyata dari para pengemudi aktif.

Lebih lanjut, Harto menyebut bahwa jalannya FGD Kemenhub RI itu terasa seperti digiring oleh narasi-narasi sepihak. Hal ini menurutnya berpotensi menciptakan kesan seolah forum tersebut tidak berpihak pada driver dan malah memperkeruh suasana.

Padahal, FGD ini adalah bentuk niat baik pemerintah untuk mendengarkan berbagai keluhan dan masukan dari semua pihak terkait isu transportasi online. Seharusnya forum ini bisa menjadi wadah mencari solusi bersama terhadap persoalan seperti tarif, pembagian hasil, dan status kemitraan yang masih jadi sorotan hingga hari ini.

“Forum ini mestinya bisa jadi momentum penting buat menyatukan suara. Tapi malah dibelokkan dengan framing yang tidak sehat,” kata Harto.

URC menegaskan bahwa mereka akan terus berada di garis depan untuk menyuarakan aspirasi driver ojol yang benar-benar aktif dan terdampak oleh dinamika regulasi dan kebijakan aplikator. Mereka juga berkomitmen untuk melawan pihak-pihak yang hanya memanfaatkan nama ojol demi kepentingan pribadi atau kelompok.

“Kami akan terus bergerak dan menghadapi siapa pun yang hanya mendompleng nama ojol. Apalagi kalau mereka ujung-ujungnya cuma memprovokasi dan memancing konflik,” tegasnya.

Harto juga menegaskan bahwa komunitas URC tidak akan tinggal diam jika ada pihak yang terus menyebarkan narasi kekerasan, intimidasi, dan seolah-olah semua driver satu suara dengan aksi anarkis. Ia menilai pendekatan seperti itu hanya akan merugikan pengemudi sendiri.

Aksi Jalanan: Satu Isu, Dua Suara

Selain FGD, aksi turun ke jalan juga mewarnai dinamika perdebatan ini. Uniknya, meski membawa isu yang sama, dua kelompok besar ojol punya tuntutan berbeda. Garda Indonesia dan Unit Reaksi Cepat (URC Bergerak) sama-sama menggelar aksi di bulan Juli 2025, namun pesannya bertolak belakang.

Pada 21 Juli, Garda Indonesia memimpin aksi di sekitar Monas dan Patung Kuda. Mereka membawa lima tuntutan, termasuk penurunan potongan komisi menjadi 10%, regulasi tarif layanan, hingga audit aplikator. Igun bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Perppu sebagai solusi jangka pendek.

Empat hari sebelumnya, pada 17 Juli, URC Bergerak melakukan aksi longmarch dari Lapangan Banteng ke Patung Kuda. Tapi tuntutannya justru sebaliknya: mereka menolak potongan 10% dan memilih tetap 20%, dengan alasan potongan tersebut digunakan untuk mendanai asuransi, pelatihan, hingga fasilitas kesejahteraan pengemudi.

“Kalau dipotong jadi 10%, justru sistemnya bisa rusak. Banyak fasilitas yang akan hilang,” kata Juwi dari URC Bogor.

Para Ekonom Turut Bicara: Regulasi Jangan Asal Teken

Di tengah perdebatan itu, para ekonom juga mulai angkat suara. Profesor Wijayanto Samirin menekankan bahwa transportasi online berperan penting dalam menjaga roda ekonomi nasional. Tapi, ia mengingatkan bahwa keputusan pemerintah tak boleh sekadar populis.

“Jangan sampai keputusan populis justru menghancurkan industri. Solusinya harus menyeluruh,” ujarnya kepada wartawan seusai FGD bersama Kemenhub di Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025.

Ia juga mendorong lahirnya regulasi khusus, seperti UU Transportasi Online, agar semua pihak—driver, aplikator, dan konsumen—punya kepastian hukum.

Senada dengan Wija, ekonom Piter Abdullah menilai pemerintah belum sepenuhnya memahami model bisnis aplikator.

“Kalau diregulasi terlalu ketat, aplikator bisa kolaps. Dan kalau itu terjadi, driver juga yang rugi,” tegasnya.

Menurut Piter, angka potongan tak bisa diseragamkan. Di luar negeri, komisi bisa mencapai 30% dan itu dianggap wajar. Ia menyarankan adanya batas atas, misalnya maksimal 20%, dan biarkan aplikator bersaing dalam efisiensi.

Status Kerja: Karyawan atau Mitra?

Selain potongan komisi, isu status kerja juga jadi bahan debat. Beberapa pihak ingin agar driver dijadikan karyawan tetap, dengan segala hak normatif seperti gaji, cuti, dan jaminan sosial. Tapi banyak driver justru menolak.

“Kalau jadi karyawan, nanti banyak yang tersingkir karena usia atau pendidikan. Kami butuh fleksibilitas,” ujar Rudi.

Komunitas Kajol bahkan menilai sistem kemitraan saat ini sudah cukup baik. Risnandar, jubir Kajol, mengatakan bahwa fleksibilitas kerja justru menjadi keunggulan ojol. Banyak ibu tunggal atau lansia yang masih bisa bekerja karena sistem ini.

Fikri perwakilan Garda Jawa Timur mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang fokus pada hal-hal yang terjadi di lapangan. Terkait dengan status pekerja, Garda mencoba untuk mengkaji beberapa penerapan di negara lain. 

“Misalnya Chile, yang undang-undang transportasinya memberikan perlindungan dengan sistem-sistem baru, sistem hybrid. Ada yang tetap mitra, ada yang full pekerja, dan ada yang setengah waktu. Itu sedang dikaji. Namun, kami tetap menitikberatkan bahwa Garda Indonesia akan tetap berproses sesuai dengan aturan yang saat ini berlaku. Kami juga ini adanya perlindungan terhadap teman-teman ojek online,” ujarnya.