Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato tentang tarif di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, DC, AS, 2 April 2025.
Tren Ekbis

Kontroversi Tarif Trump, Win-win Solution atau Pemerasan?

  • "Awalnya, AS mengumumkan tarif 32% seperti preman pasar yang naikin setoran mendadak. Lalu ditawar jadi 19%, tapi dengan syarat kita belanja besar-besaran dari mereka. Ini bukan deal setara," ujar Achmad.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA – Amerika Serikat (AS) sempat mengumumkan akan mengenakan tarif impor setinggi 32% untuk produk Indonesia mulai 1 Agustus 2025. Sementara tarif masuk barang Amerika menjadi 0%.

Angka ini sontak membuat geger pelaku usaha, terutama sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik yang selama ini bergantung pada pasar Amerika. Selain kesepakatan tarif, Indonesia disebut harus membeli produk-produk Amerika dalam jumlah fantastis. 

Hal itu mulai dari energi, produk pertanian, hingga puluhan pesawat Boeing. Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai kesepakatan itu sebenarnya adalah bentuk kompromi di bawah tekanan. 

“Awalnya, AS mengumumkan tarif 32% seperti preman pasar yang naikin setoran mendadak. Lalu ditawar jadi 19%, tapi dengan syarat kita belanja besar-besaran dari mereka. Ini bukan deal setara,” ujar Achmad kepada TrenAsia, Rabu, 16 Juli 2025.

Menurutnya, sebagai imbal balik penurunan tarif itu, Indonesia dikabarkan sepakat membeli US$15 miliar energi AS sekitar Rp240 triliun, lalu ada US$4,5 miliar produk pertanian atau sekitar Rp72 triliun, dan 50 pesawat Boeing seri 777.

“Kalau ditotal, pembelian ini bisa ratusan triliun rupiah. Jadi sebenarnya kita beli izin dagang dengan harga sangat mahal,” jelas Achmad.

Tarif Trump Mirip Pemerasan Dagang

Menurut Achmad, praktik ini mirip trade extortion, atau pemerasan dagang. Ancaman tarif tinggi dipakai sebagai alat negosiasi untuk memaksa negara mitra membeli produk mereka.

“Bayangkan seperti pedagang pasar dipalak preman. Preman minta setoran Rp300 ribu, terus bilang boleh turun ke Rp200 ribu asal juga beli air mineral, rokok, dan kupon arisan preman tiap hari. Akhirnya lebih mahal,” sindirnya.

Dalam perdagangan internasional, seharusnya negosiasi bersifat saling menguntungkan. Barang RI masuk ke AS juga tanpa hambatan.  “Tapi sekarang AS dapat dua keuntungan: tetap memungut tarif 19%, dan juga jualan produk mereka lebih banyak ke Indonesia. Ini jelas timpang,” kata Achmad.

Risiko ke Ekonomi Domestik: Tekanan Neraca, PHK, Inflasi

Selain merugikan posisi tawar Indonesia, kesepakatan itu dinilai membawa risiko ekonomi nyata. Pertama, lonjakan impor dalam jumlah masif bisa menekan neraca pembayaran.

“Bayangkan kita impor US$15 miliar energi, padahal selama ini kita jaga kemandirian energi. Lalu produk pertanian mereka masuk, bisa ganggu petani lokal,” ujarnya. Kedua, sektor industri padat karya berisiko terpukul. Tarif 19% membuat produk Indonesia lebih mahal di pasar AS, menurunkan pesanan, dan memicu potensi PHK.

Ketiga, ada risiko tekanan pada rupiah. Jika devisa terkuras untuk impor energi, pangan, dan pesawat, kurs bisa melemah. Pelemahan rupiah artinya harga barang impor lain naik, memicu inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat.

Achmad menilai pemerintah seharusnya lebih berdaulat dalam bernegosiasi. “Kalau mau turunkan tarif, seharusnya tanpa barter pembelian produk mereka dalam jumlah gila-gilaan. Kalau pun beli, pastikan itu yang benar-benar kita butuhkan dan mendukung industri dalam negeri,” tegasnya.

Menurutnya, inilah momen bagi pemerintah Indonesia untuk merumuskan ulang strategi perdagangan. Jangan hanya menuruti tekanan negara besar. Indonesia seharusnya juga lebih aktif membuka pasar non-tradisional, seperti Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, hingga Amerika Latin.

Penurunan tarif dari 32% menjadi 19% mungkin bisa diklaim sebagai kemenangan diplomasi. Tapi di baliknya ada biaya sangat mahal yang harus dibayar. “Ini bukan win-win solution. Ini kompromi tekanan yang hanya menguntungkan AS. Kepentingan nasional kita harus selalu ditempatkan di atas narasi defisit perdagangan negara lain,” ujar Achmad.