da81ca52-cb98-46e2-bede-02617a62f8bc.jpg
Tren Ekbis

Tarif Impor Turun, APINDO: Industri Padat Karya Dapat Angin Segar

  • Dua kesepakatan dagang besar dengan AS dan Uni Eropa membawa harapan baru bagi industri padat karya Indonesia. Tapi, jalan menuju pasar global tak bebas dari tantangan.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA – Angin segar tengah berembus ke sektor industri padat karya di Indonesia. Dua kesepakatan dagang strategis diumumkan dalam waktu berdekatan, masing-masing melibatkan mitra besar: Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.

Pada Sabtu, 12 Juli 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan hasil pertemuan bilateralnya dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Dalam pernyataannya, Trump menyebut bahwa AS akan menetapkan tarif impor hanya sebesar 19% untuk produk asal Indonesia, angka yang tergolong kompetitif di tengah tren proteksionisme global.

Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Indonesia akan meningkatkan impor sejumlah komoditas unggulan AS, seperti kedelai, kapas, dan minyak mentah. Meski dianggap sebagai bentuk kompromi, pemerintah menegaskan bahwa langkah tersebut tak akan mengguncang stabilitas ekonomi nasional.

Tak lama setelah pengumuman tersebut, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengonfirmasi bahwa ratifikasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) akan ditandatangani pada kuartal III 2025 di Jakarta. Perjanjian yang telah dinegosiasikan selama hampir satu dekade ini mencakup kerja sama perdagangan bebas serta penguatan investasi antara Indonesia dan Uni Eropa.

Industri Padat Karya Dapat Angin Segar, Tapi Tak Tanpa Risiko

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai momentum ini sangat strategis untuk sektor padat karya, terutama manufaktur. Ia menyebut empat sektor utama yang paling berpotensi mendapat dorongan positif.

“Pertama, tekstil dan produk tekstil (TPT) yang 61% ekspornya ditujukan ke AS. Kedua, alas kaki dan furnitur yang sangat sensitif terhadap tarif karena pasarnya sangat kompetitif,” ujarnya kepada TrenAsia.id, Kamis, 17 Juli 2025.

Ajib melanjutkan, ketiga adalah sektor mainan anak dan barang rumah tangga yang mudah tersubstitusi produk dari negara lain. Keempat, sektor makanan, kerajinan, dan produk kulit yang juga punya eksposur tinggi ke pasar Amerika dan Eropa. Menurutnya, penurunan tarif dan perjanjian perdagangan bebas akan membuka peluang ekspor sekaligus penyerapan tenaga kerja di dalam negeri.

Tantangan Masih Membayangi

Meski peluang terbuka lebar, tantangan tak kalah besar ikut menanti. Ajib menggarisbawahi setidaknya tiga isu utama yang harus segera ditangani.

Pertama, perlindungan pasar domestik dari banjir produk asing, terutama dari negara-negara seperti Tiongkok, Vietnam, dan BRICS. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat kebijakan trade remedies, seperti anti-dumping dan safeguards.

Kedua, perlunya reformasi struktural untuk menurunkan biaya usaha. Ajib menyarankan penyederhanaan regulasi (regulatory streamlining), pembenahan sektor logistik dan energi, serta pemberian insentif fiskal seperti relaksasi PPN bahan baku dan akses kredit murah.

Ketiga, penguatan rantai pasok industri dalam negeri. Ini mencakup substitusi impor dan pembangunan sektor hulu nasional di bidang logam, kimia, dan pertanian. Ajib juga mengingatkan bahwa dinamika ini tidak bisa dilihat hanya dari kacamata ekonomi. “Ini bagian dari manuver geopolitik global. Kita butuh strategi jangka panjang yang matang,” tuturnya.

Dengan meningkatnya proteksionisme dan ketegangan geopolitik dunia, Indonesia kini harus pandai menyeimbangkan antara membuka pasar dan menjaga ketahanan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, jalur diplomasi dan negosiasi multilateral menjadi semakin penting.