
Tarif Impor AS Guncang Ekonomi Asia
- Presiden AS Donald Trump kembali memicu perang dagang global dengan menerapkan tarif impor hingga 40% mulai 1 Agustus 2025. Indonesia dikenai tarif 32%, memicu kekhawatiran kontraksi industri dan PHK. Asia bersiap mitigasi lewat diversifikasi ekspor dan kerja sama kawasan.
Tren Global
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kembali menghidupkan tensi dagang global. Trump secara resmi mengirim 14 surat kepada negara-negara mitra dagang seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, Tunisia, hingga Indonesia, pada Senin, 7 juli 2025. Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa mulai 1 Agustus 2025, Amerika Serikat akan memberlakukan tarif impor tambahan bagi negara-negara tersebut.
Kebijakan ini membuka kembali babak baru perang dagang dan proteksionisme ekonomi Amerika, dengan efek domino yang diperkirakan akan mengguncang ekonomi negara-negara Asia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak signifikan dengan tarif sebesar 32 persen.
Meskipun Gedung Putih menyatakan bahwa ruang negosiasi masih terbuka hingga batas waktu 1 Agustus 2025, Trump memberikan peringatan keras bahwa negara yang mencoba membalas kebijakan tarif ini akan menghadapi tarif resiprokal tambahan. Sejumlah negara seperti Inggris dan Vietnam telah mencapai kesepakatan baru dengan AS, sementara Jepang justru dikenai tarif tambahan sebesar 1 poin, menjadikannya 25 persen.
Korea Selatan mempertahankan tarif yang sama. Di sisi lain, Indonesia masih berupaya keras melakukan negosiasi melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Namun, belum ada tanda-tanda bahwa Indonesia akan berhasil menurunkan atau menunda tarif tersebut.
Dampak ke Ekonomi Asia
Dampak kebijakan ini terasa luas di berbagai sektor. Di Jepang, industri otomotif dan elektronik menjadi yang paling tertekan. Perusahaan besar seperti Toyota bahkan mempertimbangkan untuk mengimpor mobil dari pabrik mereka di AS ke pasar domestik Jepang sebagai cara untuk mengurangi tekanan defisit dagang.
Sementara di Korea Selatan, Laman Korean Timers mencatat sektor teknologi yang sangat bergantung pada ekspor ke Amerika menyumbang 40% dari pendapatan menghadapi ancaman kontraksi. Laporan terbaru menunjukkan laba saham dari sektor teknologi dan konsumsi di negeri itu masing-masing turun 7% dan 12%. Pemerintah Korea Selatan mencatat, aktivitas manufaktur di Korea mengalami penyusutan selama lima bulan berturut-turut.
Indonesia pun tidak luput dari tekanan. Pemerintah memproyeksikan sektor tekstil, alas kaki, dan minyak sawit yang selama ini menjadi andalan ekspor diproyeksikan terpukul keras.
Industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja muda bisa mengalami kontraksi, memicu potensi PHK besar-besaran. Sebaliknya, negara seperti Malaysia dan Thailand menghadapi dampak yang lebih campuran. Meski ekspor mereka berisiko menurun, mereka juga punya peluang menangkap efek trade diversion atau pengalihan rantai pasok global dari negara lain.
Pasar keuangan Asia memberikan respons negatif setelah pengumuman tarif ini. Indeks-indeks utama seperti IHSG, Nikkei, dan KOSPI mengalami penurunan tajam, bahkan lebih dari 9%.
“Namun, IHSG gagal bertahan di atas 6.900, diperkirakan IHSG akan kembali menguji level support di 6.800,” tulis Tim Riset Phintraco Sekuritas, Selasa, 8 Juli 2025.
Dipantau TrenAsia dalam bursa nilai tukar mata uang Asia juga ikut tertekan, yen Jepang dan won Korea mengalami pelemahan signifikan terhadap dolar AS. Sementara itu pada pukul 09.00 WIB, nilai tukar rupiah tercatat di posisi Rp 16.253 per dolar AS, acuan tersebut tercatat melemah sebesar 13,5 poin atau setara dengan penurunan 0,08 persen. Situasi ini menambah ketidakpastian ekonomi di kawasan yang selama ini bergantung pada perdagangan global sebagai pendorong pertumbuhan.
Untuk merespons situasi ini, negara-negara Asia mulai menyusun langkah mitigasi. Indonesia dan Thailand kini gencar mendorong ekspor ke pasar non-AS, seperti negara-negara BRICS dan kawasan ASEAN. ASEAN juga sedang memanfaatkan forum regional seperti ASEAN Plus Three (APT) dan kemitraan perdagangan RCEP untuk meningkatkan solidaritas dan kekuatan tawar kawasan terhadap tekanan dari luar.
Sementara itu, negara-negara seperti Singapura dan Malaysia mempercepat penguatan standar ESG (Environmental, Social, Governance) sebagai daya tarik investasi jangka panjang yang lebih tahan terhadap gejolak tarif.
Daftar Tarif Resiprokal AS untuk Negara-Negara Asia (Efektif 1 Agustus 2025)
- Japan – 25%
- South Korea – 25%
- Thailand – 36%
- Malaysia – 25%
- Indonesia – 32%
- South Africa – 30%
- Cambodia – 36%
- Bangladesh – 35%
- Kazakhstan – 25%
- Tunisia – 25%
- Serbia – 35%
- Laos – 40%
- Myanmar – 40%
- Bosnia and Herzegovina – 30%