
Tarif AS Jadi 19%, Indonesia Unggul di ASEAN, Siap Serap Investasi
- Penurunan tarif impor AS terhadap Indonesia dari 32% ke 19% menjadikan RI unggul di ASEAN. Peluang ekspor meningkat, namun ancaman impor dan tensi BRICS-AS jadi tantangan baru.
Tren Global
JAKARTA - Penurunan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19% setelah negosiasi pada bulan Juli 2025 memberikan angin segar bagi ekspor nasional dan arus investasi asing.
"Mereka akan membayar 19% dan kami tidak akan membayar apapun nol kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia, dan kami memiliki beberapa kesepakatan yang akan diumumkan," ujar Trump dikutip Instagram White House, Rabu, 16 Juli 2025.
Langkah ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif terendah di kawasan ASEAN untuk ekspor ke AS, hanya berada di bawah Singapura yang menikmati tarif 10%.
Perbandingan tarif di negara-negara ASEAN menunjukkan bahwa Vietnam dan Filipina dikenai tarif sebesar 20%, Malaysia dan Brunei 25%, Thailand dan Kamboja 36%, sementara Laos dan Myanmar bahkan dikenai tarif hingga 40%.
Dengan demikian, posisi Indonesia sebagai mitra dagang strategis AS semakin menguat, sekaligus memperbesar peluang pertumbuhan sektor ekspor unggulan seperti elektronik, alas kaki, dan tekstil yang selama ini menjadi kontributor utama.
- Baca Juga : BRI Resmi Luncurkan BRILiaN Way
Dengan posisi tarif yang kini berada di angka 19%, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan dibandingkan negara tetangga di ASEAN.
Produk-produk unggulan Indonesia seperti elektronik rumah tangga, garmen, dan alas kaki kini memiliki peluang lebih besar untuk bersaing di pasar Amerika. Hal ini juga memberikan sinyal positif bagi pelaku industri lokal untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penetrasi pasar ekspor.
Pada kuartal pertama 2025, realisasi investasi nasional tercatat tumbuh 15,9% secara tahunan (year-on-year), mencapai Rp465,2 triliun. Dari jumlah tersebut, sektor manufaktur menyumbang Rp179,7 triliun atau 38,6% dari total investasi.
Pemerintah memproyeksikan bahwa struktur tarif yang kompetitif akan mendorong relokasi industri dari negara-negara ASEAN lain, terutama Thailand dan Kamboja yang menghadapi tarif jauh lebih tinggi.
Kementerian Perindustrian memperkirakan adanya potensi tambahan investasi antara Rp50 triliun hingga Rp70 triliun pada 2025–2026, dengan fokus utama pada sektor logam dasar, industri kimia, serta kendaraan listrik (EV).
Investasi ini akan tersebar di sektor prioritas seperti logam dan elektronik sebesar Rp67,3 triliun, kimia dan farmasi sebesar Rp21,7 triliun, serta kendaraan listrik sebesar Rp14,1 triliun.
Baca Juga : Panduan Dana Pinjaman Mahasiswa Swasta bagi Pelajar RI yang Ingin Kuliah di AS
Ancaman Impor AS dan Ketegangan Geopolitik
Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia Harry Su, mengungkapkan kesepakatan ini menjadi langkah positif yang bisa dimanfaatkan Indonesia sebagai momentum memperbaiki dan memperkuat fondasi ekonominya.
Meski memberikan peluang besar, kebijakan perdagangan ini tetap membawa tantangan serius. Dalam kesepakatan dagang terbaru, Indonesia sepakat memberikan akses pasar yang lebih luas bagi produk-produk AS seperti gandum, kedelai, ayam, dan LNG, tanpa menerapkan tarif balasan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya lonjakan impor yang dapat mengancam sektor pertanian domestik, khususnya peternak unggas dan petani jagung, serta mengancam keberlangsungan lebih dari 5 juta lapangan kerja lokal.
"Implikasinya sangat serius. Sekitar 5 juta lapangan kerja di sektor ini bisa hilang dalam waktu singkat," ungkap Harry dalam keterangan tertulis.
Di sisi lain, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS memicu respons keras dari Washington. Pemerintahan Presiden Donald Trump bahkan mengancam akan mengenakan tambahan tarif sebesar 10% jika Indonesia dianggap tidak sejalan dengan kepentingan strategis AS.
Ketergantungan Indonesia pada sektor hilirisasi sumber daya alam (SDA) juga menjadi perhatian, di mana 29,3% dari total investasi nasional masih terfokus pada komoditas mineral dan kelapa sawit. Hal ini menandakan pentingnya diversifikasi sektor industri ke arah yang lebih berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi.