
Tanpa Gencatan Senjata, Ekonomi 5 Negara Asia ini Terancam Remuk
- Satu tindakan blokade dari Iran sebagai pemilik posisi geografis dominan di Selat Hormuz bisa langsung memicu krisis pasokan dan lonjakan harga minyak secara global, terutama bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia Selatan.
Tren Global
JAKARTA - Ketegangan yang meningkat antara Iran dan Israel menjadi ancaman nyata, tidak hanya bagi stabilitas kawasan Timur Tengah, tetapi juga terhadap perekonomian global, khususnya di Asia. Namun, situasi mulai mereda setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan gencatan senjata, yang memberikan angin segar bagi stabilitas ekonomi.
Salah satu aspek paling krusial dari konflik ini adalah potensi penutupan Selat Hormuz, jalur pelayaran strategis yang dilalui hampir 20% dari total pasokan minyak dunia. Apabila akses ke jalur ini terganggu, sejumlah negara Asia yang sangat bergantung pada impor minyak dari Timur Tengah berpotensi mengalami krisis energi yang meluas dan menghancurkan pertumbuhan ekonominya.
Di tengah situasi yang semakin memanas, seruan untuk gencatan senjata antara Iran dan Israel menjadi sangat mendesak demi menyelamatkan stabilitas energi dan ekonomi Asia. Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran penting yang setiap harinya dilintasi sekitar 14,2 juta barel minyak mentah dan 5,9 juta barel produk minyak olahan. Dari jumlah itu, sekitar 84% ditujukan ke kawasan Asia, menjadikan wilayah ini sebagai pihak paling terdampak jika jalur tersebut terganggu.
Minyak tersebut berasal dari negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Irak, Kuwait, Qatar, dan Iran. Artinya, satu tindakan blokade dari Iran sebagai pemilik posisi geografis dominan di Selat Hormuz bisa langsung memicu krisis pasokan dan lonjakan harga minyak secara global, terutama bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia Selatan.
Dilansir Tren Asia dari Japan Times, Rabu, 25 Juni 2025, berikut adalah negara-negara Asia yang bisa mengalami kehancuran ekonomi jika Selat Hormuz diblokir.
China
China merupakan negara pengimpor minyak terbesar di dunia, dan ketergantungannya terhadap Selat Hormuz sangat signifikan. Setiap hari, sekitar 5,4 juta barel minyak diimpor China melalui jalur ini.
Arab Saudi memasok sekitar 1,6 juta barel per hari atau 15% dari kebutuhan minyak China. Tak hanya itu, 90% ekspor minyak Iran juga dibeli oleh China. Dengan ketergantungan setinggi itu, gangguan pasokan dari Selat Hormuz akan langsung mengerek biaya energi di dalam negeri, mengganggu stabilitas harga produksi industri, serta melemahkan daya saing manufaktur China di pasar global.
- Harga Emas Anjlok Pasca Israel dan Iran Damai, Sinyal Serok Investor?
- Benjamin Netanyahu: Kekuasaan, Kekayaan, dan Genosida
- Tak Bergerak, Harga Emas Antam Masih Dibandrol Segini
India
India telah melakukan upaya diversifikasi sumber energi, termasuk dengan meningkatkan impor minyak dari Rusia sejak 2022. Namun, kenyataannya, sebanyak 2,1 juta barel per hari impor minyak India masih melewati Selat Hormuz.
Sekitar 53% dari total impor minyak India berasal dari Timur Tengah, dengan Irak dan Arab Saudi sebagai dua pemasok utama. Dalam situasi krisis, India akan menghadapi tekanan berat berupa defisit energi nasional, lonjakan harga bahan bakar, serta inflasi yang merusak daya beli masyarakat dan menekan sektor industri dalam negeri.
Korea Selatan
Korea Selatan mengandalkan cadangan minyak nasional yang dapat bertahan sekitar 200 hari. Namun, dari total kebutuhan energi nasional, sebanyak 1,7 juta barel per hari atau sekitar 68% diimpor melalui Selat Hormuz. Arab Saudi menjadi pemasok utama, menyumbang hampir sepertiga dari total impor tersebut.
Jika jalur Hormuz terganggu, sektor industri otomotif, elektronik, dan petrokimia Korea Selatan yang menjadi tulang punggung ekspor negara itu akan terancam mengalami kelumpuhan karena keterbatasan energi dan meningkatnya biaya produksi.
Jepang
Jepang berada di posisi yang sangat rentan dengan ketergantungan hampir total terhadap minyak dari Timur Tengah. Sebanyak 95% dari impor minyak Jepang berasal dari kawasan tersebut, dengan 1,6 juta barel per hari melewati Selat Hormuz.
Sejumlah perusahaan pelayaran Jepang, seperti Mitsui OSK, telah menyiapkan strategi antisipatif, namun kenyataan bahwa Jepang tidak memiliki sumber energi fosil yang signifikan menjadikan negara ini sangat bergantung pada stabilitas geopolitik di kawasan Teluk. Gangguan pasokan akan berdampak langsung pada sektor industri, konsumsi rumah tangga, serta memicu resesi ekonomi.
- Harga Emas Anjlok Pasca Israel dan Iran Damai, Sinyal Serok Investor?
- Benjamin Netanyahu: Kekuasaan, Kekayaan, dan Genosida
- Tak Bergerak, Harga Emas Antam Masih Dibandrol Segini
ASEAN
Tak hanya empat negara besar tersebut, negara-negara Asia lain seperti Thailand, Filipina, Singapura, dan Vietnam juga menerima sekitar 2 juta barel minyak per hari dari Selat Hormuz.
Negara-negara ASEAN umumnya memiliki ketergantungan tinggi terhadap energi impor dan anggaran subsidi yang terbatas. Jika harga minyak melonjak tajam, beban fiskal akan membengkak, APBN berisiko jebol, dan gejolak sosial bisa muncul akibat tekanan harga kebutuhan pokok dan energi yang meningkat tajam.
Meskipun negara-negara pengimpor minyak mulai berupaya melakukan diversifikasi jalur dan sumber pasokan energi, kenyataannya jalur alternatif belum mampu menandingi volume pasokan dari Teluk. Pipa minyak milik Arab Saudi dan UEA hanya mampu menangani sekitar 2,6 juta barel per hari, jauh dari kebutuhan total kawasan Asia.
Sementara itu, pipa Iran Goreh-Jask masih belum aktif sepenuhnya dan hanya memiliki kapasitas 300.000 barel per hari. Di sisi lain, produksi minyak serpih dari Amerika Serikat dan cadangan strategis dunia hanya mampu menjadi penyangga sementara, bukan solusi jangka panjang jika konflik berkepanjangan terjadi.
Melihat potensi kehancuran yang ditimbulkan, gencatan senjata antara Iran dan Israel bukan sekadar opsi diplomatik, melainkan kebutuhan strategis bagi stabilitas ekonomi global.
Asia, sebagai kawasan pusat manufaktur dan konsumen energi terbesar dunia, sangat bergantung pada keamanan jalur pasokan minyak dari Teluk. Negara-negara seperti China, India, dan Jepang perlu mengambil inisiatif untuk mendorong diplomasi aktif guna menekan eskalasi konflik. Langkah konkret bisa berupa mediasi multilateral, pendekatan ekonomi, atau kerja sama keamanan energi regional.