<p>Suasana kios pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020. Jika pandemi tak bisa dikendalikan yang salah satunya dilihat dari indikator positive rate di bawah 5%, masyarakat, khususnya kelas menengah akan enggan membelanjakan uangnya, karena khawatir terinfeksi. Inilah yang menjadi penyebab, meski reaktivasi ekonomi sudah dilakukan pada Juni 2020 lalu, tetapi kinerja daya beli tetap melorot. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Tren Ekbis

Tanda-Tanda Kamu Masuk Kelas Bawah: Dari Gaji Pas-pasan hingga Belanja Sachet

  • Tidak semua orang menyadari bahwa mereka berada di kelompok ini, namun pola hidup dan pilihan-pilihan harian bisa menjadi indikator yang mencolok .

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA, TRENESIA.ID - Di tengah laju pertumbuhan ekonomi yang diklaim membaik, realitas di lapangan tidak selalu sejalan. Kelas bawah bukan sekadar istilah sosiologis. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak tanda-tanda yang mencerminkan posisi seseorang dalam struktur ekonomi masyarakat.

Tidak semua orang menyadari bahwa mereka berada di kelompok ini, namun pola hidup dan pilihan-pilihan harian bisa menjadi indikator yang mencolok  di antaranya:

Pendapatan Tak Menentu, Hidup Gaji ke Gaji

Salah satu ciri paling umum dari kelas bawah adalah penghasilan yang pas-pasan dan cenderung tidak tetap. Mereka biasanya bekerja di sektor informal, sebagai buruh lepas, pedagang kecil, atau pekerja serabutan tanpa jaminan sosial.

Upah yang diterima tidak cukup untuk menabung, apalagi berinvestasi. Hidup sehari-hari dijalani dari satu pemasukan ke pemasukan berikutnya, tanpa ruang untuk darurat atau pengembangan diri.

Belanja Eceran dan Berdasarkan Harga Termurah

Gaya konsumsi pun menjadi cerminan jelas. Masyarakat kelas bawah terbiasa membeli kebutuhan dalam kemasan eceransachet shampoo, kopi sachet, atau minyak goreng dalam plastik kecil.

Pilihan diambil bukan berdasarkan kualitas, tetapi semata-mata karena harga yang terjangkau saat itu. Strategi bertahan hidup ini dikenal sebagai “biaya kemiskinan” yang ironisnya, justru membuat pengeluaran jangka panjang menjadi lebih boros.

Tinggal di Area Padat dengan Fasilitas Terbatas

Aspek tempat tinggal juga menjadi penanda kuat. Kelas bawah biasanya tinggal di kawasan padat penduduk, dengan kondisi rumah yang sempit, berdesakan, dan jauh dari fasilitas umum yang memadai.

Kepemilikan rumah masih menjadi impian, dan banyak dari mereka hidup di rumah kontrakan atau bahkan menyewa kamar dalam rumah orang lain.

Gaya Hidup Berbasis Utang

Mereka yang berada di kelas bawah juga kerap bergantung pada utang atau cicilan, bukan untuk kebutuhan produktif, tetapi untuk konsumsi dasar: membeli sembako, bayar listrik, atau biaya sekolah anak.

Layanan pinjaman daring atau paylater menjadi pelarian cepat, meski risikonya tinggi. Tanpa kemampuan literasi finansial yang kuat, ketergantungan ini bisa membentuk lingkaran utang yang sulit diputus.

Terbatasnya Akses Pendidikan dan Kesehatan

Akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas juga menjadi tantangan besar. Banyak anak di keluarga kelas bawah terpaksa putus sekolah atau hanya mampu mengecap pendidikan hingga tingkat dasar.

Kesehatan pun bergantung pada fasilitas murah seperti BPJS kelas 3, dengan antrean panjang dan pelayanan minimal. Padahal, akses ke dua sektor inilah yang justru menjadi kunci mobilitas sosial.

Sebelumnya, berdasarkan catatan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, nilai garis kemiskinan (GK) terbaru sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau naik 2,11% dibanding catatan per Maret 2024 senilai Rp582.932 per kapita per bulan.

Sebagaimana diketahui, BPS mendefinisikan garis kemiskinan sebagai suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.

Maka, ketika penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK masuk kategori penduduk miskin.