
Tak Pedulikan Ancaman Perang Tarif Trump, Hubungan Dagang AS - Jepang Memanas
- Pemerintah Jepang memilih untuk tidak memberikan tanggapan langsung terhadap ancaman tarif yang dilontarkan Presiden Donald Trump. Dalam pernyataan resminya, Tokyo menekankan pentingnya menjaga jalur diplomasi tetap terbuka dan mengedepankan pendekatan negosiasi secara konstruktif.
Tren Global
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengeluarkan ancaman kenaikan tarif terhadap produk Jepang sebesar 30 hingga 35%. Ancaman ini dilontarkan seiring berakhirnya masa tenggang 90 hari dalam kebijakan tarif resiprokal yang jatuh pada 9 Juli 2025. Pemerintah AS menyoroti ketidakseimbangan perdagangan, khususnya rendahnya ekspor mobil dan beras dari Amerika ke Jepang.
Pemerintah Jepang tidak memberikan tanggapan langsung terhadap pernyataan tersebut. Posisi resmi pemerintah menekankan pentingnya menjaga jalur diplomasi dan melanjutkan negosiasi perdagangan secara konstruktif. Perdana Menteri Jepang menerangkan, bahwa Jepang tetap berpegang pada prinsip perundingan yang saling menguntungkan tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
"Kami mengetahui apa yang dikatakan Presiden Trump, namun kami tidak akan mengomentari setiap pernyataan dari pejabat pemerintah AS," jelas Wakil Sekretaris Kabinet, Kazuhiko Aoki.
Hingga awal Juli, negosiasi antara kedua negara belum menghasilkan kesepakatan konkret. Proses perundingan tingkat menteri yang telah berlangsung dalam beberapa pekan terakhir masih menemui jalan buntu. Di sisi lain, pernyataan dari Washington menunjukkan pesimisme terhadap peluang tercapainya kesepakatan dalam waktu dekat.
"Kami berniat untuk melanjutkan pembicaraan bilateral secara tulus dan penuh itikad baik demi mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi Jepang dan Amerika Serikat," jelas Aoki.
- Kabar Gembira untuk Mahasiswa, Repower Asia (REAL) Bangun Apartemen Kos untuk Kamu
- Tergelincir 34 Poin, IHSG Hari Ini Ditutup di Posisi 6.881,24
- Hanya 8 Saham Cuan, LQ45 Hari Ini Ditutup Turun ke 766,22
Tarif AS Berlaku, Industri Jepang Bisa Terganggu
Ancaman tarif baru, terutama pada sektor otomotif, menciptakan kekhawatiran di kalangan pelaku industri Jepang. Pengenaan tarif 25 % terhadap mobil buatan Jepang yang masuk ke pasar AS diperkirakan akan memberikan tekanan besar terhadap produsen utama seperti Toyota, Honda, dan Nissan.
Amerika Serikat merupakan pasar ekspor utama bagi mobil Jepang, sehingga peningkatan tarif dinilai berpotensi mengganggu stabilitas pendapatan industri otomotif nasional.
Jepang menyatakan komitmennya untuk tidak terburu-buru menyepakati perjanjian perdagangan yang berpotensi merugikan, terutama dalam bidang pertanian yang sangat dilindungi oleh kebijakan dalam negeri.
Pemerintah Jepang juga mempertimbangkan dampak politik dalam negeri menjelang pemilihan umum parlemen yang dijadwalkan berlangsung pada 20 Juli 2025. Stabilitas sektor pertanian dan industri strategis menjadi prioritas utama dalam menjaga dukungan publik.
Ancaman tarif tersebut muncul di tengah kondisi ekonomi Jepang yang sedang mengalami tekanan. Data pertumbuhan ekonomi menunjukkan kontraksi sebesar 0,2 % secara tahunan pada kuartal pertama 2025.
- Kabar Gembira untuk Mahasiswa, Repower Asia (REAL) Bangun Apartemen Kos untuk Kamu
- Tergelincir 34 Poin, IHSG Hari Ini Ditutup di Posisi 6.881,24
- Hanya 8 Saham Cuan, LQ45 Hari Ini Ditutup Turun ke 766,22
Meski lebih baik dari estimasi awal yang memproyeksikan kontraksi hingga 0,7 %, perlambatan ini mencerminkan tantangan struktural yang masih dihadapi Jepang.
Faktor utama perlambatan ekonomi mencakup menurunnya volume ekspor, ketidakpastian global, serta tekanan inflasi domestik yang belum sepenuhnya terkendali.
Pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati, sekaligus mencegah kembalinya risiko deflasi.
Situasi perdagangan dengan Amerika Serikat menambah kompleksitas dalam agenda pemulihan ekonomi Jepang. Keseimbangan antara kepentingan diplomatik, stabilitas politik domestik, dan perlindungan sektor industri menjadi tantangan utama dalam merespons dinamika hubungan dagang bilateral yang semakin tegang.