China PKC.jpg
Tren Global

Strategi China Salip Jepang dan Eropa di Panggung Ekonomi Dunia

  • Reformasi ekonomi China berhasil meningkatkan efisiensi ekonomi dengan memperkenalkan insentif laba kepada perusahaan kolektif pedesaan, pertanian keluarga, usaha swasta kecil, dan investor serta pedagang asing

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

BEIJING - China secara resmi menyalip Jepang sebagai negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di Asia dan sekaligus menggeser sejumlah negara Eropa dalam peringkat kekuatan ekonomi global. 

Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, PDB nominal China pada tahun 2024 telah melampaui US$18 triliun (sekitar Rp293.400 triliun), sementara Jepang berada di kisaran US$4,3 triliun (sekitar Rp70.090 triliun). 

Dengan capaian ini, China mengokohkan diri sebagai salah satu pusat kekuatan ekonomi dunia yang baru, tidak hanya di kawasan Asia tetapi juga secara global.

IMF juga telah menerbitkan jurnal ilmiah berjudul "Mengapa Tiongkok Tumbuh Begitu Cepat?". Laporan tersebut menyebut lonjakan PDB China terjadi seiring dengan transformasi besar dalam struktur ekonomi negara tersebut. 

Jika sebelumnya China dikenal sebagai "pabrik dunia" karena bergantung pada ekspor dan tenaga kerja murah, kini negeri itu beralih menjadi pusat teknologi tinggi, inovasi digital, dan industri bernilai tambah. 

“Reformasi (ekonomi) China berhasil meningkatkan efisiensi ekonomi dengan memperkenalkan insentif laba kepada perusahaan kolektif pedesaan (yang dimiliki oleh pemerintah daerah tetapi dipandu oleh prinsip-prinsip pasar), pertanian keluarga, usaha swasta kecil, dan investor serta pedagang asing,”  tulis laporan IMF, Kamis, 4 Juli 2025.

Dari sisi PDB berdasarkan paritas daya beli (PPP), China bahkan sudah melampaui Amerika Serikat sejak beberapa tahun lalu. Peningkatan ekonomi China ini tak hanya kuantitatif, tetapi juga mencerminkan diversifikasi dan modernisasi yang menyeluruh.

Sederet Strategi China

Keberhasilan China tidak lepas dari sejumlah strategi jangka panjang dan terukur. Pertama, transformasi industri dan teknologi tinggi menjadi fondasi utama. 

China secara agresif berinvestasi pada kecerdasan buatan (AI), semikonduktor, bioteknologi, dan kendaraan listrik (EV), menjadikan negeri itu sebagai pemimpin dalam sektor-sektor strategis masa depan. 

Kedua, China memanfaatkan kekuatan pasar domestik yang sangat besar. Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa dan pertumbuhan kelas menengah yang pesat, konsumsi dalam negeri menjadi motor pertumbuhan yang tak lagi bergantung pada permintaan luar negeri.

“produktivitas yang lebih tinggi telah menghasilkan keajaiban ekonomi terbaru di Asia ini. Produktivitas Tiongkok meningkat pada tingkat tahunan sebesar 3,9 persen selama tahun 1979-94, dibandingkan dengan 1,1 persen selama tahun 1953-78,” tambah Laporan IMF.

Ketiga, pembangunan infrastruktur berskala besar menjadi instrumen penting. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China tidak hanya menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa secara fisik dan digital, tetapi juga memperluas pengaruh ekonomi dan geopolitiknya. 

Keempat, stabilitas politik yang tinggi dan perencanaan makro melalui rencana lima tahunan memungkinkan konsistensi kebijakan yang jarang ditemukan di negara-negara demokrasi Barat yang sering berganti arah karena dinamika politik.

Penurunan Posisi Jepang dan Eropa

Di sisi lain, Jepang dan sejumlah negara Eropa mengalami stagnasi atau perlambatan ekonomi dalam satu dekade terakhir. Jepang, yang lama menjadi raksasa ekonomi Asia, menghadapi tantangan serius berupa penurunan populasi, penuaan masyarakat, rendahnya produktivitas, dan beban utang publik yang tinggi. 

PDB nominal Jepang yang stagnan membuatnya tertinggal jauh dibandingkan China. Sementara itu, negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, dan Inggris sedang berjuang menghadapi inflasi tinggi, krisis energi pasca konflik Rusia-Ukraina, serta ketidakpastian politik dan geopolitik yang menekan pertumbuhan ekonomi mereka.

Kebangkitan China menjadi indikator nyata pergeseran tatanan ekonomi global dari Barat ke Timur. Tidak hanya China, negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, Vietnam, dan Filipina juga menunjukkan pertumbuhan yang kuat. 

Meski sukses besar, China tetap menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ketegangan geopolitik dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya menjadi salah satu sumber ketidakpastian utama. 

Di sisi domestik, sektor properti yang masih rapuh, risiko utang lokal pemerintah daerah, serta kesenjangan antarwilayah menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani secara hati-hati. 

Namun, strategi jangka panjang China untuk menjaga momentum ekonomi cukup solid. Pemerintah terus mendorong digitalisasi, mengurangi ketergantungan pada ekspor, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, serta memperkuat jaring pengaman sosial dan keuangan inklusif.

China juga aktif memperluas pengaruh ekonominya melalui sistem pembayaran internasional berbasis yuan dan kerja sama keuangan lintas negara, yang secara perlahan menantang dominasi dolar AS. Langkah-langkah ini tidak hanya meningkatkan otonomi ekonomi China, tetapi juga menandai babak baru dalam globalisasi ekonomi multipolar.