solo.jpg
Nasional

Solo Menuju Daerah Istimewa Surakarta? Ini Pertimbangan Sejarah dan Politiknya

  • Setelah Indonesia merdeka, Surakarta sempat diberikan status sebagai Daerah Istimewa Surakarta. Status ini diberikan sebagai bentuk penghargaan atas dukungan Kraton Kasunanan Surakarta terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA — Wacana pembentukan Daerah Istimewa Surakarta kembali mencuat setelah dibahas dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR bersama Kementerian Dalam Negeri pada 24 April 2025.

Dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara, Jakarta, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 341 usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), termasuk enam usulan daerah istimewa, salah satunya Surakarta atau Solo.

Usulan menjadikan Surakarta sebagai daerah istimewa sejatinya bukan hal baru. Gagasan ini sudah bergulir sejak lama, dan mulai diperjuangkan secara resmi pada tahun 2010 oleh mantan Bupati Karanganyar, Juliyatmono, melalui konsep "Solo Raya" yang mencakup Kota Surakarta dan enam kabupaten di sekitarnya.

Dorongan untuk mengusulkan status istimewa didasarkan pada pertimbangan historis, sosial, dan ekonomi. Surakarta dikenal sebagai pusat budaya Jawa, ditunjang infrastruktur strategis seperti Bandara Adi Soemarmo, Jalan Tol Trans Jawa, serta geliat perdagangan yang aktif. Semua faktor ini dianggap memperkuat alasan pemberian status khusus, serupa dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dari sisi politik, wacana ini mendapat perhatian serius dari para politisi. Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menilai bahwa meski Surakarta memiliki dasar historis yang kuat, pemberian status istimewa harus dipertimbangkan secara matang agar tidak menimbulkan rasa ketidakadilan di daerah lain yang mungkin memiliki klaim serupa.

"Perlu kajian mendalam agar keputusan ini tidak memicu ketimpangan," ujar Aria.

Istana Negara melalui Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru. Ia menekankan pentingnya kajian komprehensif yang mempertimbangkan faktor sejarah, sosial, administrasi, dan kesiapan kelembagaan.

"Tentu kita tidak bisa gegabah. Kita harus pelajari usulan ini dengan seksama, mencari jalan terbaik, dan memperhitungkan berbagai faktor," kata Prasetyo di Jakarta, dikutip Senin, 28 April 2025.

Perubahan status menjadi daerah istimewa bukan hanya sekadar pengakuan identitas, tetapi juga berdampak pada struktur pemerintahan dan alokasi anggaran.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyatakan sikap terbuka terhadap usulan tersebut. Menurutnya, prinsip utama adalah setiap usulan harus memenuhi kriteria objektif dan dasar hukum yang kuat.

"Kalau kriterianya terpenuhi, tentu kami akan ajukan ke DPR RI, karena pembentukan suatu daerah harus didasarkan pada undang-undang," jelas Tito dalam kesempatan terpisah di Jakarta, 25 April 2025.

Selain itu, meskipun saat ini moratorium pembentukan DOB masih berlaku, moratorium tersebut tidak sepenuhnya menutup pintu bagi usulan daerah istimewa, mengingat mekanisme dan kriterianya berbeda.

Sejarah Daerah Istimewa Surakarta

Setelah Indonesia merdeka, Surakarta sempat diberikan status sebagai Daerah Istimewa Surakarta sebagai bentuk penghargaan atas dukungan Kasunanan Surakarta terhadap perjuangan kemerdekaan. Kraton Kasunanan diberi kepercayaan untuk mengelola wilayahnya sendiri dengan tetap setia kepada pemerintah pusat.

Namun, dalam perjalanannya, terjadi ketidakpuasan di kalangan rakyat terhadap sistem pemerintahan feodal yang masih dipertahankan. Aksi-aksi protes merebak, menyebabkan ketegangan politik yang semakin meningkat.

Kondisi ini mendorong pemerintah pusat untuk mengambil tindakan demi menjaga ketertiban. Akhirnya, pada 16 Juni 1946, status keistimewaan Surakarta resmi dicabut. Wilayah tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam Provinsi Jawa Tengah.

Sejak saat itu, Surakarta tidak lagi memiliki status khusus dan menjalankan pemerintahan seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia.