
Skema Pajak Kripto Baru Mulai Agustus 2025, Ini Dampaknya bagi Investor
- Tarif pajak kripto yang baru masih lebih tinggi dibandingkan dengan pajak atas transaksi saham. Selain itu, sistem PPh final dianggap kurang adil karena tetap berlaku meski investor mengalami kerugian dalam bertransaksi.
Tren Pasar
JAKARTA, TRENASIA.ID - Mulai 1 Agustus 2025, pemerintah Indonesia resmi menerapkan kebijakan perpajakan baru untuk transaksi aset kripto. Lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, aturan ini menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,21% untuk transaksi kripto yang dilakukan di dalam negeri, dan 1% untuk transaksi yang melibatkan platform luar negeri. Selain itu, kebijakan ini juga secara resmi menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi kripto.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam menyambut potensi besar industri kripto di tanah air. Pada tahun 2024, tercatat lonjakan nilai transaksi kripto di Indonesia mencapai Rp650 triliun—tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Tak hanya itu, jumlah investor kripto di Indonesia kini telah menembus angka 20 juta orang, bahkan melampaui jumlah investor di pasar saham.
Penghapusan PPN atas transaksi kripto bukan tanpa alasan. Pemerintah, melalui perubahan dalam regulasi, kini mengakui aset kripto sebagai bagian dari Aset Keuangan Digital, setara dengan surat berharga seperti saham dan obligasi. Hal ini tertuang dalam Pasal 4A ayat (2) huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM.
Dengan pengakuan ini, kripto tak lagi diperlakukan sebagai komoditas semata, melainkan sebagai instrumen keuangan yang sah dan terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional. Pemerintah berharap skema baru ini dapat mendongkrak pertumbuhan pasar kripto lokal, mendorong investor untuk bertransaksi di platform dalam negeri yang dikenakan tarif pajak lebih rendah, serta menambah pendapatan negara secara berkelanjutan.
- Andelsbolig: Ketika Rumah Layak Tak Harus Mahal
- Kenapa Harga Saham Bergerak Duluan Sebelum Laporan Keuangan Rilis?
- Berikut Cara Membuka Rekening Menganggur yang Diblokir
Progresif, tapi Perlu Evaluasi Lanjutan
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyambut baik diberlakukannya PMK 50/2025. Ia menganggap kebijakan ini sebagai angin segar bagi ekosistem kripto nasional.
“Skema perpajakan baru ini cukup progresif. Dengan penghapusan PPN dan hanya mengenakan PPh final saat penjualan, investor kini mendapatkan kepastian dan efisiensi dalam bertransaksi,” jelas Calvin melalui pernyataan tertulis yang diterima TrenAsia, Kamis, 31 Juli 2025.
Namun, ia juga menyoroti bahwa skema pajak ini belum sepenuhnya ideal. Menurutnya, tarif pajak kripto yang baru masih lebih tinggi dibandingkan dengan pajak atas transaksi saham. Selain itu, sistem PPh final dianggap kurang adil karena tetap berlaku meski investor mengalami kerugian dalam bertransaksi.
“Ini berbeda dengan sistem capital gain tax yang hanya berlaku saat investor memperoleh keuntungan. Ke depan, kami berharap skema pajak bisa lebih mencerminkan asas keadilan dalam ekonomi digital,” tambahnya.
Baca Juga: US$60 Miliar Mengalir ke Kripto: Tanda Bull Market atau Sekadar Euforia?
Masa Transisi Jadi Kunci
Implementasi skema pajak baru ini tentunya tidak bisa dilakukan secara instan. Calvin menegaskan pentingnya masa transisi yang cukup agar pelaku industri, khususnya platform kripto lokal, bisa mempersiapkan diri secara optimal.
Tokocrypto sendiri disebut tengah melakukan penyesuaian sistem internal, termasuk konsolidasi teknis dan pelaporan pajak. Calvin mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengusulkan masa transisi minimal satu bulan sejak PMK diterbitkan.
“Ini penting agar semua platform punya waktu cukup untuk edukasi kepada pengguna dan penyesuaian teknis sistem,” ujarnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap transaksi kripto di platform luar negeri. Tanpa pengawasan yang seimbang, dikhawatirkan akan tercipta ketimpangan yang tidak menguntungkan platform lokal.
Dibanding Negara Lain, Pajak Kripto RI Lebih Ringan
Jika dibandingkan dengan kebijakan di negara lain, skema pajak kripto Indonesia tergolong lebih moderat. India, misalnya, masih menerapkan tarif pajak tinggi sebesar 30% atas keuntungan kripto dan belum membuka jalan untuk Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin.
Sementara di Amerika Serikat, mantan Presiden Donald Trump pernah mengusulkan penghapusan pajak capital gain atas kripto demi mendorong adopsi aset digital secara lebih luas.
Thailand juga mengambil langkah berbeda dengan membebaskan pajak penghasilan pribadi bagi investor kripto yang menggunakan exchange lokal. Kebijakan tersebut berlaku hingga 2029 dan menjadi strategi Thailand dalam memperkuat posisinya sebagai hub kripto di kawasan Asia Tenggara.
Melalui kebijakan pajak yang lebih kompetitif, pemerintah Indonesia berharap dapat menciptakan ekosistem investasi yang lebih sehat, inklusif, dan sejajar dengan negara lain.
- Ekspor Batu Bara Anjlok, Target PNPB Terkoreksi Rp15 Triliun
- Data Pribadi RI Akan Ditransfer ke AS, Ini 12 Cara Lindungi Privasimu
- Pusat Data AI Habiskan 700.000 Galon Air Sehari Agar Tak Kepanasan
Harapan untuk Ekosistem Kripto Nasional
Dengan diberlakukannya PMK 50/2025, pemerintah mengisyaratkan keseriusannya dalam mendukung pertumbuhan industri kripto dalam negeri. Namun, keberhasilan kebijakan ini tetap bergantung pada kesiapan pelaku industri, edukasi kepada investor, serta komitmen pemerintah dalam menyempurnakan regulasi di masa mendatang.
“Kami berharap kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan adaptif ini dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekosistem kripto yang sehat di Indonesia,” pungkas Calvin.
Tak hanya itu, Calvin juga mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan insentif fiskal bagi pelaku industri kripto lokal. Menurutnya, langkah ini penting guna mendukung inovasi, menciptakan lapangan kerja baru, serta memperluas akses masyarakat terhadap inklusi keuangan digital.