
Simak! Ini Investasi Paling Aman Saat Perang Israel-Iran
- Ketegangan yang memuncak antara Israel dan Iran sejak 12 Juni 2025 telah mengubah peta investasi global secara drastis. Pertukaran serangan yang masih berlangsung hingga Senin, 16 Juni 2025, mendorong investor bersikap waspada dan meninjau ulang strategi portofolionya.
Tren Pasar
JAKARTA - Ketegangan yang memuncak antara Israel dan Iran sejak 12 Juni 2025 telah mengubah peta investasi global secara drastis. Pertukaran serangan yang masih berlangsung hingga Senin, 16 Juni 2025, mendorong investor bersikap waspada dan meninjau ulang strategi portofolionya.
Gejolak geopolitik ini menciptakan lanskap baru di pasar keuangan, di mana sejumlah aset mencuat sementara lainnya tersingkir. Investor muda Indonesia yang mendominasi pasar saat ini dihadapkan pada dilema antara mengejar peluang atau bertahan di instrumen yang lebih aman.
Seperti pada krisis geopolitik sebelumnya, sektor energi menjadi reaksi awal paling nyata. Kekhawatiran terganggunya pasokan membuat harga minyak mentah global melonjak. Minyak Brent yang sebelumnya di kisaran US$74 per barel sempat menyentuh US$77,60 sebelum stabil di level yang lebih tinggi.
- Kode Broker Terbuka Lagi, Apa Artinya Buat Kamu yang Baru Main Saham?
- 7 Alasan Merdeka Copper Gold (MDKA) Bakal Jadi Raja Emas dan Nikel Indonesia
- Link dan Cara Cek Pengumuman Kelulusan PPPK 2024 Tahap 2 Lewat SSCASN
Artinya, sejak perang Israel–Iran meningkat pada 12 Juni 2025, harga minyak Brent naik sekitar US$3,60 per barel, atau sekitar 4,86% dari level semula (US$74) ke level tertinggi yang sempat disentuh (US$77,60), sebelum akhirnya stabil di kisaran yang masih tinggi.
Kondisi ini langsung berdampak pada bursa domestik. Saham minyak dan gas PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) melesat 46% dalam sepekan terakhir ke level Rp330 per saham. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) juga mencatat lonjakan 20,40% menuju Rp1.500 per saham.
Investment Analyst Stockbit Sekuritas, Hendriko Gani, membenarkan bahwa lonjakan harga minyak global memberi sentimen positif jangka pendek bagi saham-saham produsen dan penunjang migas, termasuk saham ENRG dan MEDC.
Meski begitu, reli di sektor energi cenderung berlangsung singkat dan fluktuatif. Karena itu, investor sebaiknya lebih mengutamakan fundamental perusahaan energi ketimbang terpancing oleh sentimen sesaat.
Kilau Emas Tak Selalu Menular
Di luar energi, emas kembali berkilau sebagai aset pelindung nilai. Harga emas dunia naik sekitar US$85 per ons sejak konflik Israel dan Iran memanas, dari US$3.364 pada 12 Juni 2025, menjadi lebih dari US$3.450 pada perdagagan berjalan hari ini.
Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, memprediksi harga emas akan terus meroket hingga mencapai Rp2 juta per gram. Menurutnya, level tertinggi harga emas bisa menembus US$3.500 per troy ons, yang setara dengan sekitar Rp2 juta per gram.
Ia menjelaskan, lonjakan ini didorong oleh meningkatnya ketegangan geopolitik global yang membuat investor berbondong-bondong mencari aset safe haven seperti emas. “Ketidakpastian global, terutama akibat konflik panas antara Israel dan Iran yang kini saling balas serangan, memperkuat daya tarik emas di pasar,” ujarnya.
Namun, lonjakan harga emas global tidak selalu menular ke saham produsen dalam negeri. PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) ikut menguat 6,02% dalam seminggu terakhir ke level Rp2.300 per saham. Sebaliknya, saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) justru terkoreksi 5,22% ke Rp3.270 per saham.
Situasi ini mencerminkan paradoks yang menarik. Komoditas emas menguat, namun sentimen di pasar saham tidak seragam. Fundamental perusahaan dan aksi ambil untung jangka pendek masih menjadi penentu utama pergerakan harga saham, bahkan dalam kondisi pasar tak menentu.
Reksa Dana Tampil Stabil di Tengah Gejolak
Nah, ketika pasar saham berfluktuasi, reksa dana berisiko rendah menjadi benteng pertahanan investasi terakhir. Berdasarkan data NAVI milik Mirae Asset Sekuritas Indonesia, kinerja produk Insight Money naik dari 0,55% menjadi 0,59% untuk imbal hasil satu bulan selama 12–16 Juni 2025.
Return tiga bulannya naik dari 1,55% menjadi 1,56%, sedangkan enam bulannya menyentuh 2,97%. Imbal hasil tahunannya stabil di 6,19%, memperkuat posisi reksa dana pasar uang sebagai tempat parkir dana yang aman dan likuid di tengah ketidakpastian global.
Produk reksa dana pendapatan tetap juga mencatatkan pertumbuhan. I-Hajj Syariah Fund mengalami kenaikan return satu bulan dari 1,00% menjadi 1,07%. Return tahunan turut menguat dari 8,53% menjadi 8,57%, mencerminkan daya tahan terhadap tekanan pasar luar negeri.
Di sisi lain, tekanan melanda reksa dana saham. Sucorinvest Maxi Fund mengalami penurunan satu bulan dari 8,57% menjadi 7,28%. Imbal hasil enam bulan turun dari -0,82% menjadi -1,82%, menunjukkan peningkatan tekanan jual akibat memburuknya sentimen risiko pasar.
Menimbang Risiko, Menyusun Strategi
Dalam situasi penuh gejolak ini, pemilihan instrumen investasi sangat bergantung pada profil risiko masing-masing investor. Saham energi dapat dimanfaatkan oleh investor agresif, sementara emas atau saham berbasis komoditas bisa jadi pilihan moderat untuk penyeimbang portofolio.
Investor konservatif memiliki alternatif solid pada reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap yang kinerjanya terbukti tahan guncangan. Imbal hasil yang stabil menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang mengutamakan keamanan modal dan kelangsungan nilai dalam jangka panjang.
Konflik yang berkepanjangan ini secara gamblang memetakan aset spekulatif versus aset defensif. Dalam konteks ini, diversifikasi tetap menjadi strategi utama. Investor perlu menjaga keseimbangan portofolio agar tetap terlindung dari badai geopolitik yang bisa datang sewaktu-waktu.