hand-holding-growth-arrow-with-coins.jpg
Tren Ekbis

Shadow Inflation: Harga Tetap, Tapi Serasa Semakin Mahal

  • Fenomena ini makin dirasakan oleh generasi muda urban, yang sehari-harinya berinteraksi langsung dengan produk retail, layanan digital, hingga jasa berbasis aplikasi.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA – Pernah merasa belanja bulanan makin mahal, meski harga barang katanya masih sama? Atau pesan makanan via aplikasi, tapi porsinya terasa lebih kecil dari biasanya? Kalau iya, selamat datang di dunia shadow inflation ketika harga tidak naik secara kasat mata, tapi nilai yang kita dapat makin turun.

Fenomena ini makin dirasakan oleh generasi muda urban, yang sehari-harinya berinteraksi langsung dengan produk retail, layanan digital, hingga jasa berbasis aplikasi.

Mereka mengeluh,kok sekarang semua serba mahal ya?. Padahal menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi per Juni 2025 justru terkendali di 1,87% secara tahunan (YoY) angkaMenghantui

Berdasarkan kelompok pengeluarannya, inflasi tahunan ini utamanya didorong oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang mengalami inflasi sebesar 9,30% dan memberikan andil inflasi sebesar 0,59%.

Komoditas lain yang turut menyumbang inflasi tahunan antara lain tarif air minum PAM, beras, kopi bubuk, minyak goreng, dan sigaret kretek mesin. Adapun kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan mencatat deflasi dengan andil 0,02 persen, didorong oleh penurunan harga telepon seluler.

Apa Sebenarnya yang Terjadi?

Shrinkflation adalah strategi produsen mengecilkan ukuran atau isi produk tanpa menurunkan harga. Cokelat 60 gram kini jadi 52 gram. Minyak goreng kemasan 1 liter jadi 870 ml. Mie instan makin ramping, bahkan tisu gulung pun makin tipis.

Menurut laporan Bloomberg, fenomena ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Di AS dan Eropa, perusahaan makanan dan ritel ramai-ramai menyusutkan isi kemasan sejak pandemi, sebagai cara mempertahankan margin keuntungan di tengah biaya produksi yang naik. Namun di Indonesia, belum banyak diskusi publik soal praktik ini, apalagi regulasi yang mengatur kejelasan isi bersih (net weight) yang berubah diam-diam.

Bukan cuma barang, layanan juga ikut menyusut. Ini disebut downflation ketika fasilitas atau servis berkurang, tanpa kompensasi harga. Contohnya, hotel tetap pasang harga normal, tapi sarapan tidak lagi gratis.

Restoran meniadakan refill air minum, atau tak lagi menyertakan sendok garpu dan ongkos kirim tetap mahal, tapi waktu pengiriman jadi lebih lama. Laundry kiloan mulai pakai sistem kilo minimal, bukan total baju.

Konsumen mungkin tidak langsung menyadari, tapi dalam jangka panjang mereka membayar lebih untuk nilai yang makin sedikit.

Tipflation: Bayar Layanan dan Dipaksa Bayar Tip

Tipflation adalah bentuk lain dari inflasi yang dibebankan ke konsumen secara halus melalui permintaan “tip wajib” di aplikasi, kafe, barbershop, hingga jasa pesan antar. Awalnya bersifat opsional, tapi kini makin banyak sistem pembayaran digital yang otomatis menyarankan atau bahkan mengunci nominal tip, biasanya 5–15%.

Sebuah survei oleh Pew Research Center (2024) mencatat bahwa lebih dari 72% Gen Z dan milenial merasa lelah dengan banyaknya permintaan tip dalam transaksi digital, bahkan untuk layanan yang tidak interaktif secara langsung.

Menurut BPS, inflasi per Juni 2025 tetap rendah karena harga-harga pangan utama seperti beras dan telur sudah relatif stabil. Namun, statistik itu belum mencerminkan pengalaman konsumen yang menghadapi berbagai bentuk inflasi diam-diam yang tidak tercatat sebagai “kenaikan harga langsung”.

Data inflasi resmi bisa bias jika tidak memperhitungkan penurunan kualitas atau kuantitas produk. Akibatnya transparansi produsen masih minim tak banyak konsumen tahu bahwa kemasan mereka berubah.

Regulasi label dan iklan belum mewajibkan notifikasi saat isi produk menyusut. Lalu ada perilaku pasar makin manipulatif, memanfaatkan psikologi konsumen yang jarang membandingkan isi secara detail.

Shadow inflation adalah wajah baru dari tekanan ekonomi yang tak terlihat jelas di grafik atau laporan pemerintah, tapi nyata di dompet masyarakat. Terutama bagi generasi muda, yang hidup dalam ekonomi serba instan, digital, dan fluktuatif fenomena ini makin terasa memberatkan.