Gemini_Generated_Image_z7r26jz7r26jz7r.jpeg
Tren Pasar

Setelah BYD, Giliran Djarum Masuk SSIA: Secuan Apa Sih Prospeknya?

  • Grup Djarum milik Hartono bersaudara diam-diam borong 5,27% saham properti SSIA. Apa yang mereka lihat di balik suksesnya kawasan industri Subang?

Tren Pasar

Alvin Bagaskara

JAKARTA – Pasar saham kembali dikejutkan dengan manuver senyap dari salah satu grup konglomerasi terbesar di Indonesia. Grup Djarum, melalui entitas investasinya PT Dwimuria Investama Andalan, tiba-tiba muncul sebagai pemegang saham signifikan di emiten properti dan kawasan industri, PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA).

Berdasarkan data KSEI per 4 Juli 2025, entitas milik Hartono bersaudara ini kini tercatat menggenggam 5,27% saham SSIA. Masuknya investor sekaliber Djarum ini tentu bukan tanpa alasan, apalagi terjadi di saat SSIA sedang kebanjiran penyewa kelas kakap global.

Fenomena konglomerasi besar yang tiba-tiba masuk ini tentu menjadi sinyal kuat yang menarik perhatian investor ritel. Jadi, apa sebenarnya yang dilihat Djarum di dalam SSIA? Dan seberapa cerah prospeknya ke depan? Mari kita bedah lima poin pentingnya.

1. Aksi Borong Senyap Grup Djarum

Poin pertama dan yang paling utama adalah masuknya Grup Djarum sebagai pemegang saham besar. Aksi ini terbilang "senyap" karena sebelumnya nama PT Dwimuria Investama Andalan tidak tercatat dalam daftar kepemilikan di atas 5%.

Info saja, belum lama ini, Dwimuria Investamat telah mengakuisisi seluruh saham treasuri PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL) sebanyak 559.185.300 lembar. Nilai transaksi pembelian saham dengan harga Rp1.875 per saham ini mencapai sekitar Rp 1,04 hingga Rp 1,05 triliun.

Nah, Dwimuria Investama sendiri adalah kendaraan investasi yang sama yang digunakan Hartono bersaudara untuk memiliki saham di PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Ini menunjukkan bahwa investasi di SSIA adalah langkah strategis yang serius.

Bagi banyak investor, masuknya pemain besar dan berpengalaman seperti Grup Djarum seringkali dianggap sebagai mosi percaya atau vote of confidence terhadap prospek jangka panjang sebuah perusahaan.

2. Magnet Baru Bernama Subang Smartpolitan

Lalu, apa yang menjadi daya tarik utama SSIA saat ini? Jawabannya terletak pada proyek mahakarya mereka: kawasan industri Subang Smartpolitan. Kawasan seluas 2.717 hektare ini sukses menjadi magnet bagi perusahaan-perusahaan global.

Setelah raksasa mobil listrik asal China, BYD, berkomitmen membangun pabrik seluas 108 hektare, kini giliran pemasok global untuk Panasonic Group, PT Sanwa Musen Indonesia, yang ikut memborong lahan industri di sana.

Tidak hanya itu, PT Kids Play Indonesia juga tengah membangun fasilitas manufaktur di atas lahan 10 hektare dengan total investasi mencapai Rp982 miliar. Deretan nama besar ini membuktikan bahwa Subang Smartpolitan adalah 'harta karun' baru bagi SSIA.

3. Target Sales Tinggi dan Pundi-pundi yang Mengalir

Masuknya para penyewa raksasa ini sejalan dengan target penjualan lahan (marketing sales) yang ambisius dari emiten berkodekan saham SSIA. Pasalnya, untuk tahun ini saja, perseroan menargetkan bisa menjual total lahan seluas 137 hektare.

Yang menarik, sebagian besar target tersebut, yaitu 120 hektare, diharapkan datang dari Subang Smartpolitan. Oleh karena itu, Ciptadana Sekuritas memprediksi bahwa SSIA akan merealisasikan penjualan lahan seluas 18 hektare kepada BYD pada kuartal ketiga tahun 2025 ini.

Aliran dana dari penjualan lahan inilah yang akan menjadi bahan bakar bagi perusahaan untuk terus mengembangkan kawasan industrinya dan tentunya, berpotensi meningkatkan laba perusahaan di masa depan.

4. Target Harga Naik, Tapi Proyeksi Pendapatan Turun?

Melihat semua perkembangan positif ini, Ciptadana Sekuritas mempertahankan rekomendasi "Buy" untuk saham SSIA. Mereka bahkan menaikkan target harga secara signifikan dari Rp1.390 menjadi Rp1.930 per saham.

Namun, ada satu hal yang unik. Di saat yang sama, mereka justru menurunkan proyeksi pendapatan SSIA untuk tahun 2025 dan 2026. Mengapa bisa begitu?

Ini adalah hal yang wajar di bisnis properti. Penurunan proyeksi pendapatan kemungkinan besar karena penyesuaian waktu pengakuan penjualan lahan. Namun, kenaikan target harga menunjukkan bahwa analis melihat nilai jangka panjang aset (NAV) SSIA kini jauh lebih tinggi berkat masuknya tenant-tenant berkualitas.

5. Jadi, Apa Artinya Ini Buat Investor Ritel?

Setelah membedah semua informasi, kesimpulannya cukup jelas. Masuknya Grup Djarum menjadi validasi kuat bahwa strategi SSIA dalam mengembangkan Subang Smartpolitan berada di jalur yang benar.

Perusahaan berhasil mentransformasi lahan kosong menjadi sebuah ekosistem industri modern yang diminati pemain global, terutama di sektor kendaraan listrik. Ini adalah cerita pertumbuhan jangka panjang yang sangat menarik.

Bagi investor ritel, fenomena "follow the smart money" atau mengikuti jejak investor besar seperti Djarum bisa menjadi salah satu strategi. Namun, tetap penting untuk melakukan riset sendiri dan memahami bahwa investasi di sektor properti dan kawasan industri memiliki siklus dan risikonya tersendiri.