
Sektor Hijau Potensi Serap Tenaga Kerja, Tapi Belum Jadi Prioritas
- Meski tren gaya hidup ramah lingkungan mulai digandrungi generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, pemerintah dinilai belum serius menggarap potensi ekonomi hijau.
Tren Ekbis
JAKARTA, TRENESIA.ID – Meski tren gaya hidup ramah lingkungan mulai digandrungi generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, pemerintah dinilai belum serius menggarap potensi ekonomi hijau.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menyebut kebijakan yang ada masih sebatas wacana dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), tanpa strategi anggaran dan regulasi yang memadai.
Urban farming di kota-kota besar seperti Jakarta, misalnya, masih sebatas program CSR tanpa dukungan kebijakan yang jelas. Padahal menurutnya, peluang sektor ini besar untuk menyerap tenaga kerja dan menopang pertumbuhan.
- OCBC Gaungkan Kampanye #BaiknyaBarengBareng untuk Memerdekakan Diri dari Bias Gender
- Fenomena Flexing Influencer, Jadi Indikasi Baru Pencucian Uang?
- Saatnya Beli Saham BBRI dan BMRI? Ini Kata Para Analis
“Green economy kita saat ini masih lebih banyak retorika. Kebijakan publik belum terintegrasi, bahkan tidak ada insentif signifikan untuk mendorong sektor hijau tumbuh,” katanya kepada TrenAsia.id pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Sektor informal disebut Trubus menjadi penopang konsumsi domestik di tengah tekanan ekonomi global, dari ojek online, warung kuliner, hingga bisnis thrifting. Sektor informal yang “hijau” seperti urban farming, pengelolaan daur ulang, atau kuliner berbasis produk ramah lingkungan juga dinilai potensial.
Sayang, upaya itu belum ditopang keberpihakan pemerintah. “Kalau pemerintah mau serius, insentif pajak, subsidi modal, hingga regulasi ramah inovasi harus disiapkan. Jangan cuma berhenti di festival atau kampanye gaya hidup hijau,” tambah Turbus.
Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang terintegrasi dengan prinsip keberlanjutan dinilai memiliki daya serap tenaga kerja yang besar. Namun, hingga kini kebijakan publik untuk mendorong tren ini belum terwujud secara konkret.
Ia juga menyoroti perlunya inovasi pemanfaatan komoditas seperti tembakau yang selama ini identik dengan industri rokok. Menurutnya, tembakau harus dikembangkan untuk fungsi lain agar petani tetap memiliki pasar meski konsumsi rokok menurun.
Kendala Implementasi
Trubus memandang kendala terbesar justru ada di level politik. Menurutnya, perubahan pemerintahan setiap lima tahun membuat kebijakan berkelanjutan sulit berjalan. Banyak keputusan publik yang hanya bersifat politis, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi hijau.
“Bicara di DPR, mereka paham ide kita, tapi sering bilang partainya tidak setuju. Jadi walau ada konsep bagus, sulit dijalankan,” katanya. Selain itu, infrastruktur dasar untuk sektor pertanian juga belum optimal. Petani masih menghadapi masalah seperti air yang tidak mencukupi, pupuk mahal, bibit terbatas, dan prosedur birokrasi yang rumit.
Ia menilai, peluang ini bisa dioptimalkan jika ada dukungan serius pemerintah, mulai dari kebijakan, anggaran, hingga perlindungan harga bagi petani dan pelaku usaha hijau.
“Kalau pemerintah mau fokus, sektor hijau ini bukan hanya menyerap tenaga kerja, tapi juga menghijaukan bumi sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi,” ujanya. Meski demikian, menurut Trubus beberapa model bisnis hijau ini dinilai realistis untuk dikembangkan.
Hal itu antara lain kuliner berbasis produk ramah lingkungan, urban farming yang terintegrasi dengan perumahan dan gedung kosong, pertanian dan perkebunan yang terkait langsung dengan ketahanan pangan hingga pemanfaatan lahan banjir atau terlantar untuk pertanian produktif.