Compass
Tren Global

Sektor Alas Kaki Bisa Jadi Senjata Indonesia Lawan AS, Begini Potret Ekspornya

  • Amerika Serikat selama ini menjadi pasar utama bagi ekspor alas kaki Indonesia. Negara ini menyerap sekitar sepertiga dari total ekspor sepatu olahraga nasional, menjadikannya salah satu tujuan ekspor terbesar bersama kawasan Eropa.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Di tengah kecemasan terhadap dampak kebijakan tarif 0% terhadap produk Amerika Serikat, Indonesia masih memiliki satu sektor industri yang bisa menjadi tameng ekonomi, alas kaki. Kinerja ekspor yang kuat, diversifikasi pasar yang progresif, dan dukungan regulasi membuat sektor ini dinilai mampu menstabilkan neraca perdagangan dan menyerap tekanan eksternal dari liberalisasi pasar.

Amerika Serikat selama ini menjadi pasar utama bagi ekspor alas kaki Indonesia. Negara ini menyerap sekitar sepertiga dari total ekspor sepatu olahraga nasional, menjadikannya salah satu tujuan ekspor terbesar bersama kawasan Eropa. 

Dalam periode Januari hingga April 2025 saja, ekspor alas kaki menyumbang surplus sebesar US$2,05 miliar terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia, menjadikannya kontributor kelima terbesar setelah minyak sawit, mineral, besi-baja, dan nikel.

Pada 2023, Indonesia memproduksi sekitar 807 juta pasang alas kaki, dan lebih dari separuhnya, sebanyak 445 juta pasang atau 55,4%, diekspor ke berbagai negara. AS menjadi pasar dominan dalam distribusi ekspor ini. Fakta ini menunjukkan bahwa meski kebijakan bea masuk 0% memungkinkan barang Amerika masuk dengan harga lebih murah, Indonesia punya posisi tawar kuat lewat sektor alas kaki.

Ketahanan Alas Kaki

Ketahanan sektor ini terlihat dari proyeksi pertumbuhannya yang cukup agresif. Pada tahun 2025, Berdasarkan proyeksi kementerian perindustrian, industri alas kaki Indonesia diperkirakan akan tumbuh antara 12 hingga 17%, ditopang oleh permintaan ekspor yang tetap tinggi dan momen Ramadan/Lebaran yang menyumbang 13–17% dari total penjualan tahunan. 

Selain itu, daya saing Indonesia di pasar internasional juga meningkat berkat strategi diversifikasi ekspor. Riset IPB pada 2024 menunjukkan Indonesia memiliki potensi kuat di pasar non-tradisional seperti Brasil, Spanyol, dan Polandia, yang memungkinkan pengurangan ketergantungan pada pasar AS.

Dari sisi kebijakan, pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk menjaga daya saing sektor ini. Regulasi seperti PMK No 10/2025 memberi insentif pajak bagi pekerja sektor padat karya, sementara kebijakan pengendalian impor produk dumping menahan masuknya barang asing yang berisiko merugikan industri lokal.

Lebih jauh, sektor alas kaki menjadi bagian dari kekuatan ekonomi Indonesia yang lebih luas. Indonesia mencatatkan surplus perdagangan barang selama 60 bulan berturut-turut hingga April 2025, meskipun sempat menyempit menjadi US$160 juta akibat kenaikan impor migas. 

“Neraca perdagangan barang mencatat surplus sebesar $160 juta. Ini berarti Indonesia telah mempertahankan surplus perdagangan selama 60 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” papar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini, kala menyampaikan  jumpa pers di kantor pusat BPS, Jakarta, Senin, 2 Juni 2025.

Dalam periode yang sama, sektor non-migas masih menunjukkan surplus US$11,26 miliar, di mana alas kaki menyumbang peran penting. Amerika Serikat tercatat sebagai mitra dagang dengan kontribusi surplus terbesar yakni US$5,44 miliar, diikuti India dan Filipina.

Untuk menjaga ketahanan ekspor, pemerintah juga menggalakkan strategi mitigasi berbasis data, seperti penggunaan model STR (Structural Transformation of Exports) dan pendekatan X-Model guna memetakan pasar baru potensial seperti Argentina, Yunani, dan Panama. Di saat yang sama, peningkatan efisiensi produksi, inovasi desain, serta kemudahan akses pembiayaan menjadi fokus dalam meningkatkan daya saing pelaku UMKM alas kaki.

Namun, sektor ini tidak lepas dari tantangan. Ketergantungan pada bahan baku impor seperti mesin dan plastik membuat sektor ini rentan terhadap tarif balasan atau gangguan rantai pasok global. Di sisi lain, inflasi yang tinggi di negara mitra dagang seperti AS dan Eropa juga bisa menekan daya beli konsumen, yang berimbas pada penurunan permintaan.

Meskipun demikian peluang tetap terbuka lebar. Konsumsi alas kaki domestik Indonesia masih tergolong rendah, yakni hanya 1,28 pasang per kapita per tahun, artinya pasar dalam negeri masih sangat potensial untuk tumbuh. Sementara itu, negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh justru menghadapi hambatan tarif tinggi dari AS , mencapai 35–46%,  akibat defisit perdagangan mereka, yang secara tidak langsung memperkuat posisi kompetitif Indonesia di pasar global.