IMG_Iran_Nuclear_2_1_R5DRQ4B9.jpg
Tren Global

Sejarah Perkembangan Senjata Nuklir Iran

  • Fase pertama pengembangan Nuklir Iran dimulai pada 1957, ketika Iran memulai program nuklir sipil melalui kerja sama dengan Amerika Serikat dalam inisiatif “Atoms for Peace”

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Ketegangan di Timur Tengah memuncak tajam pada Jumat, 13 Juni 2025, ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap Iran. Israel mengerahkan 200 jet tempur untuk menghantam sekitar 100 target strategis di Iran. Sasaran utama mencakup fasilitas nuklir, pabrik rudal balistik, serta pos komando militer elit Iran.

Tak lama setelah serangan, Iran merespons dengan meluncurkan lebih dari 100 drone ke arah Israel. Drone-drone ini ditujukan untuk menyerang pangkalan militer, infrastruktur strategis, dan wilayah pemukiman. Otoritas Israel mengklaim telah berhasil mencegat sebagian besar drone, namun belum ada laporan rinci mengenai jumlah korban atau kerusakan.

Situasi ini memperburuk ketegangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun antara dua negara musuh bebuyutan tersebut, terutama menyangkut program nuklir Iran yang kontroversial.

Sejarah Perkembangan Nuklir Iran

Program nuklir Iran telah menempuh perjalanan panjang dan penuh gejolak sejak dimulai pada era Shah Mohammad Reza Pahlavi. Kini, setelah lebih dari enam dekade, konflik seputar ambisi nuklir Teheran mencapai titik kritis, menyusul serangan udara besar-besaran Israel terhadap fasilitas nuklir utama Iran.

Fase pertama dimulai pada 1957, ketika Iran memulai program nuklir sipil melalui kerja sama dengan Amerika Serikat dalam inisiatif “Atoms for Peace”.

Iran membangun Tehran Nuclear Research Center dan menerima reaktor riset 5 MW serta pasokan uranium yang diperkaya 93%. Pada 1974, Iran bahkan merancang pembangunan 23 reaktor sipil dengan bantuan perusahaan dari Jerman, Prancis, dan AS.

Namun, Revolusi Islam 1979 mengubah segalanya. Proyek-proyek nuklir dibekukan di tengah isolasi politik dan embargo Barat. Meski demikian pengalaman pahit akibat serangan senjata kimia oleh Irak mendorong Iran membangun jaringan rahasia untuk pengayaan uranium. 

Fasilitas bawah tanah di Natanz dan Arak mulai dibangun diam-diam pada tahun 1980-an, dibantu teknologi centrifuge P-1 yang dibeli dari jaringan A.Q. Khan di Pakistan.

Lompatan Besar Pengayaan Uranium

Pada tahun 2002, kelompok oposisi Iran mengungkap keberadaan situs nuklir rahasia. Inspeksi IAEA membuktikan bahwa Iran telah memperkaya uranium hingga 20%, melanggar perjanjian internasional. 

Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi, hingga akhirnya tercapai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada tahun 2015. Dalam perjanjian ini, Iran menyetujui pembatasan pengayaan uranium dan pengawasan ketat oleh IAEA dengan imbalan pencabutan sanksi.

Namun, masa damai itu singkat. Pada tahun 2018, AS menarik diri dari JCPOA di bawah Presiden Donald Trump dan memberlakukan kembali sanksi ekonomi maksimum. Iran membalas dengan mempercepat pengayaan, bahkan mencapai level 60% pada tahun 2023, hanya satu langkah dari tingkat senjata sebesar 90%.

Situasi mencapai puncaknya pada awal 2025 ketika laporan IAEA dan intelijen Mossad mengungkap bahwa Iran telah mengumpulkan 128,3 kg uranium 60%, cukup untuk satu bom nuklir jika diperkaya lebih lanjut. Serangan Israel pun terjadi, jet tempur membombardir fasilitas utama di Natanz, Fordow, dan Arak   tiga pilar program nuklir Iran.

Respons global pun beragam. Negara-negara Barat menyerukan de-eskalasi, namun secara diam-diam memahami kekhawatiran Israel. Di sisi lain, negara-negara Teluk dan Asia mempersiapkan diri menghadapi dampak  lonjakan harga energi, potensi eksodus pengungsi, dan ancaman perang regional.

Walaupun Iran belum secara resmi memutuskan untuk memproduksi senjata nuklir, infrastruktur teknis dan materialnya sudah tersedia. Kini dunia menanti, apakah konflik ini akan berlanjut menjadi perang terbuka di Timur Tengah, atau kembali ke jalur diplomasi seperti di masa JCPOA.