pertemuan bilateral indonesia amerika.jpg
Tren Ekbis

Saat Washington Tak Lagi Peduli “Hadiah” dari Jakarta

  • Indonesia berharap kedekatan dengan AS mendatangkan kelonggaran dagang. Namun, setelah bergabung dengan BRICS, tarif 32% justru dijatuhkan. Apakah ini balasan politik?

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA – Beberapa bulan terakhir, langkah-langkah diplomasi Indonesia terhadap Amerika Serikat (AS) tampak kian intensif. Hubungan bilateral ini memasuki babak baru sejak Presiden AS Donald Trump memantik perang dagang pada April lalu. Targetnya: hampir seluruh mitra dagang utama AS, termasuk Indonesia.

Alih-alih melawan, Indonesia memilih pendekatan akomodatif. Pemerintah tetap setia pada sistem dolar, meningkatkan belanja alat militer buatan Amerika, dan memperbesar impor migas dari Negeri Paman Sam. Serangkaian langkah ini bukan tanpa maksud, harapannya jelas: mendapat kelonggaran dagang sebagai imbal balik.

Namun, harapan itu kandas begitu saja di awal Juli 2025. Pemerintah AS resmi menetapkan tarif 32% untuk hampir semua produk ekspor Indonesia. Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Agustus, dan menjadi pukulan telak bagi pelaku ekspor nasional. Barang-barang Indonesia akan makin sulit bersaing di pasar AS, kalah harga, dan makin kecil peluangnya mendapat keringanan tarif meskipun kita sudah berusaha tampil “ramah” dan kooperatif di mata Washington.

Ketika Semua “Hadiah” Tak Lagi Bernilai

Ironisnya, sebelum keputusan tarif ini dijatuhkan, Indonesia telah memberikan banyak “hadiah” strategis bagi Amerika Serikat. Di sektor pertahanan, Indonesia menggelontorkan sekitar Rp24 triliun untuk membeli pesawat tempur F-15EX dan sistem radar pertahanan buatan AS. Tak hanya itu, investasi perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia juga mencapai angka fantastis: lebih dari Rp500 triliun. Proyek smelter nikel, tambang, hingga transisi energi melibatkan raksasa seperti Tesla dan Ford.

Dalam hal sistem keuangan, Indonesia memilih tetap patuh pada dominasi dolar AS. Berbeda dengan negara-negara BRICS lain yang gencar mendorong mata uang alternatif, Indonesia masih menjalankan hampir seluruh transaksi internasional dengan dolar. Bahkan dalam perdagangan energi, kita semakin menggantungkan diri pada AS.

Selama paruh pertama 2025, impor migas dari Amerika melonjak tajam, mencapai lebih dari US$15 miliar atau sekitar Rp243 triliun. Rinciannya antara lain LPG: US$3 miliar (Rp48,6 triliun), naik 70% dari tahun sebelumnya, minyak mentah: US$4,25 miliar (Rp68,85 triliun), naik 38%, dan bensin: US$8 miliar (Rp129,6 triliun).

Namun ternyata, semua bentuk loyalitas dan kerja sama ekonomi ini belum cukup membuat Amerika melunak. Justru sebaliknya, tekanan semakin diperbesar. AS kini ingin barang-barang mereka masuk ke Indonesia dengan tarif yang serendah mungkin, bahkan tanpa bea masuk. Sementara ekspor kita dikenai tarif tinggi, tanpa ruang negosiasi. Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia hanya akan kembali ke pola lama: menjadi pasar bagi negara maju, tanpa punya kekuatan tawar yang sejati.

Balasan untuk BRICS?

Ada dugaan bahwa keputusan AS ini tidak semata-mata soal dagang, tapi juga geopolitik. Indonesia resmi menjadi anggota BRICS pada 6 Januari 2025, langkah besar yang bertujuan memperluas pengaruh di kancah global, mendiversifikasi mitra strategis, serta mendorong sistem keuangan yang lebih inklusif dan non-dolar.

Aliansi BRICS kerap dianggap sebagai antitesis dari dominasi AS dalam sistem global. Dengan bergabungnya Indonesia, Washington mungkin melihat ancaman terselubung. Kebijakan tarif tinggi bisa menjadi “peringatan” agar Indonesia tak melangkah terlalu jauh meninggalkan orbit Barat.

Kini, Jakarta menghadapi dilema besar: terus bersikap lunak demi menjaga hubungan dagang yang timpang, atau mulai menata ulang arah kebijakan luar negeri dengan keberanian baru.