
Saat Ekonomi Dunia Turun, APBN RI Surplus Rp90,8 Triliun
- Saat beberapa negara mendorong stimulus besar-besaran, pemerintah Indonesia justru mengambil pendekatan belanja selektif, menargetkan sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Nasional
JAKARTA - Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ancaman perlambatan pertumbuhan dunia, Indonesia justru mencatatkan kabar baik dari sektor fiskal. Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga April 2025 mencatat surplus sebesar Rp90,8 triliun, setara 0,39% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Indonesia yang sempat mengalami tekanan berat selama pandemi, kini tampil solid di panggung global, bahkan ketika banyak negara besar justru terjebak dalam defisit tinggi.
“Dampak dari surplus ini sangat nyata dalam memperkuat stabilitas makroekonomi. Kepercayaan investor terhadap pengelolaan fiskal Indonesia meningkat, terlihat dari penguatan nilai tukar rupiah dan stabilitas imbal hasil surat utang negara,” papar Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Lucky Akbar, dalam keterangan tertulisnya dikutip Antara, Selasa, 27 Mei 2025.
- Tren Dividen Telkom (TLKM) dalam Satu Dekade, Stabil dan Cenderung Meningkat
- Bank Mandiri Perkuat Sektor Ritel dan Inklusi Lewat Dukungan Transaksi Digital di FJGS 2025
- Naik Tipis Rp4.000 per Gram, Cek Daftar Harga Emas Antam Terbaru
Ketimpangan Global, Stabilitas Domestik
Amerika Serikat, misalnya, tengah bergulat dengan defisit mencapai 6,3% PDB. Jepang menghadapi beban utang luar biasa, dengan rasio lebih dari 250% terhadap PDB. Negara-negara tetangga seperti Thailand dan Filipina juga belum sepenuhnya pulih, masing-masing mencatat defisit sebesar 2,7 dan 4,1%.
Menurut Lucky, Indonesia memilih langkah yang lebih hati-hati. Saat beberapa negara mendorong stimulus besar-besaran, pemerintah Indonesia justru mengambil pendekatan belanja selektif, menargetkan sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Kebijakan subsidi pun diarahkan lebih tepat sasaran, didukung oleh data kependudukan digital.
Kinerja APBN dalam tiga tahun terakhir menggambarkan proses konsolidasi fiskal yang konsisten. Pendapatan negara terus tumbuh, dari Rp1.000,1 triliun pada April 2024 menjadi Rp1.152,3 triliun pada April 2025, atau setara 38% dari target tahunan.
“Dalam tiga tahun terakhir, tren kinerja APBN menunjukkan dinamika yang mencerminkan adaptasi pemerintah terhadap perubahan global dan kebutuhan domestik,” jelas Lucky.
Di saat bersamaan, belanja negara tetap meningkat namun terjaga pada angka Rp1.061,5 triliun. Keseimbangan primer, indikator penting dalam kesehatan fiskal, juga menunjukkan tren menurun secara terkendali, dari Rp234,7 triliun (2023) menjadi Rp90,8 triliun (2025).
Bagi Lucky, surplus ini bukan semata-mata hasil dari kenaikan penerimaan, melainkan buah dari kebijakan menyeluruh. Pemerintah mendorong optimalisasi perpajakan, perluasan basis pajak dari sektor digital dan UMKM, serta menjaga kinerja Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui pengelolaan sumber daya alam dan dividen BUMN yang semakin efisien.
Koordinasi Pusat-Daerah dan Sinergi Moneter
Selain itu, sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter berperan penting dalam menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional. Digitalisasi anggaran daerah serta peningkatan kualitas transfer ke daerah berbasis kinerja juga membantu mempercepat efektivitas belanja dan mendorong pertumbuhan yang merata.
Menurut Lucky surplus bukanlah tujuan akhir, melainkan momentum strategis untuk melanjutkan reformasi struktural. Fokus ke depan tetap pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif, keberlanjutan fiskal, dan keadilan sosial.
“Surplus ini harus dipandang sebagai momentum strategis, bukan tujuan akhir. Pemerintah perlu mempertahankan kualitas belanja, memperdalam reformasi perpajakan, dan mengantisipasi risiko global,” jelas Lucky.