
Rumah Mungil 18 m² untuk Keluarga Muda, Ini Dampaknya bagi Kesehatan
- Banyak netizen media sosial menganggap rumah seluas 18 meter persegi terlalu sempit dan tidak layak huni, menyerupai kontrakan atau bahkan “kandang manusia”.
Tren Leisure
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mewacanakan penyesuaian standar rumah subsidi menjadi lebih kecil, dari sebelumnya 21 meter persegi menjadi hanya 18 meter persegi.
Selain itu luas tanah juga diperkecil dari 60 meter persegi menjadi 25–30 meter persegi. Rencana ini diklaim sebagai respons atas keterbatasan lahan dan kebutuhan efisiensi biaya pembangunan perumahan, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Desain rumah subsidi terbaru akan memiliki dua tipe, 18/25 dan 18/30. Tipe 18/25 akan berdiri di atas lahan 25 m², sedangkan tipe 18/30 dibangun di lahan 30 m².
"Jadi, ini dibuatnya untuk di kota atau di sekitar perkotaan," ujar Menteri PKP Maruarar Sirait saat melihat mock up rumah subsidi garapan Lippo Group yang dipasang di lobi Nobu Bank, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, dikutip Selasa, 17 Juni 2025.
Pembagian ruang mencakup area parkir motor dan teras, ruang keluarga yang menyatu dengan dapur, satu kamar mandi mungil, dan satu kamar tidur.
Pada tipe 18/30, terdapat tambahan area cuci-jemur. Meskipun diklaim sesuai dengan standar SNI 03-1733-2004, rumah ini idealnya hanya cocok untuk lajang atau pasangan muda dengan satu anak. Selain itu, rumah ini dirancang untuk menekan harga rumah di kawasan perkotaan.
"Nanti InsyaAllah kalau memang ke depan kami sudah banyak masukan dari semua stakeholder dengan harga yang nanti lebih murah, itu cicilannya juga kami dorong bisa lebih murah, bisa Rp 600.000 sampai Rp 700.000 sebulan," jelas Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, di Jakarta.
- Trading di Tengah Jam Kerja: Saatnya Jam Bursa Lebih Fleksibel untuk Milenial
- Harga Emas Terkoreksi, Analis Soroti Peluang di Saham ANTM dan MDKA
- Kok Emas Malah Turun Saat Perang? Investor Pemula Perlu Tahu 3 Faktor Ini
Dianggap Tak Sehat untuk Fisik dan Mental
Namun, wacana ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk arsitek, pengamat tata kota, hingga masyarakat umum. Banyak netizen media sosial menganggap rumah seluas 18 meter persegi terlalu sempit dan tidak layak huni, menyerupai kontrakan atau bahkan “kandang manusia”.
Desakan muncul agar pemerintah meninjau ulang rencana tersebut dan mempertimbangkan aspek spiritual seperti ruang ibadah serta kelayakan desain melalui uji publik.
Di luar kritik sosial, para ahli kesehatan mengingatkan potensi dampak serius bagi kesehatan fisik dan mental penghuni rumah berukuran mikro ini. Dari sisi kesehatan fisik, studi Journal of Environmental Health (2024) menunjukkan bahwa rumah 18m² memiliki sirkulasi udara buruk.
Kadar CO₂ dalam ruangan bisa mencapai 1.500 ppm, jauh di atas ambang aman WHO (<1.000 ppm), yang bisa menyebabkan sakit kepala hingga memicu serangan asma.
Selain itu, dengan kepadatan hanya sekitar 4,5m² per orang untuk keluarga berisi empat orang, risiko penularan penyakit menular seperti tuberkulosis dan COVID-19 meningkat signifikan. Studi kasus di Rusunawa Surabaya pada 2023 mencatat angka ISPA 40% lebih tinggi di unit hunian berukuran di bawah 20m².
Tak hanya fisik, ruang sempit juga berdampak besar pada kondisi psikologis. Penelitian Universitas Indonesia (2024) menyebutkan bahwa konflik rumah tangga tiga kali lebih sering terjadi dalam hunian berukuran sangat kecil akibat minimnya privasi.
Anak-anak pun menghadapi risiko gangguan perkembangan kognitif dua kali lipat karena tidak memiliki cukup ruang untuk bermain atau belajar.
Kementerian Kesehatan bahkan mencatat peningkatan gejala kecemasan di kalangan remaja penghuni rumah padat. Para ahli psikologi menyebut kondisi ini sebagai “sindrom kandang” (cage syndrome), yakni perasaan terperangkap secara fisik dan emosional yang ditandai dengan stres berlebih, impulsivitas, hingga intoleransi sosial.
Dirjen Perumahan Perkotaan Kementerian PUPR, Sri Haryati, menyatakan bahwa desain rumah subsidi ini masih terbuka untuk penyempurnaan.
“Kami tetap mempertimbangkan fungsi hunian yang layak dan terbuka terhadap masukan publik dalam uji coba desainnya,” ujarnya.
Meski demikian, tekanan publik untuk meninjau ulang batas minimal hunian tampaknya kian menguat, terutama dengan bukti bahwa ruang terlalu sempit bukan hanya persoalan estetika atau kenyamanan, melainkan ancaman nyata terhadap kesehatan dan kesejahteraan jangka panjang masyarakat.