
Rojali dan Rohana Makin Ramai di Mal: Belanja Tidak, Cuci Mata Iya!
- Tapi tahukah Anda bahwa tidak semua pengunjung datang untuk berbelanja? Di tengah tingginya tekanan ekonomi dan kebiasaan sosial masyarakat urban, muncul fenomena unik yang diberi label khas Rojali, Rohana, dan Robeli.
Tren Ekbis
JAKARTA, TRENASIA.ID – Mal dan pusat perbelanjaan selama ini dikenal sebagai tempat belanja, hiburan, hingga bersantai. Tapi tahukah Anda bahwa tidak semua pengunjung datang untuk berbelanja? Di tengah tingginya tekanan ekonomi dan kebiasaan sosial masyarakat urban, muncul fenomena unik yang diberi label khas Rojali, Rohana, dan Robeli.
Tiga istilah ini muncul dari kreativitas warganet Indonesia yang menggambarkan perilaku konsumen yang datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat barang, bertanya-tanya, hingga sekadar cuci mata tanpa ada niatan belanja. Walau terkesan santai dan lucu, istilah ini justru membuka perbincangan baru soal perilaku konsumsi masyarakat kelas menengah dan dampaknya bagi pelaku ritel.
Istilah Slang yang Kian Populer
Rojali - Rombongan Jarang Beli
Menunjukkan kelompok pengunjung yang datang bersama-sama ke toko atau mal hanya untuk melihat-lihat barang dan jarang membeli.
Rohana - Rombongan Hanya Nanya-nanya
Diperuntukkan bagi pengunjung yang suka bertanya detail produk harga, warna, fungsi tapi tidak pernah berniat membeli.
Robeli - Rombongan Benar Beli
Menggambarkan kondisi masyarakat yang memang memiliki tujuan ke mall untuk belanja. Di balik kelucuan istilah tersebut, ada sinyal tekanan daya beli. Harga barang konsumsi yang makin tinggi, inflasi tersembunyi seperti shrinkflation, dan tingginya beban hidup di kota besar menjadikan aktivitas belanja bukan lagi prioritas.
Maria Trisna (32), karyawan swasta di Jakarta, mengaku sering jadi Rojali saat akhir pekan. "Kadang ke mal cuma buat lihat-lihat, mencari diskon, atau mencoba tester produk skincare. Tidak selalu beli barang tapi makanan," tuturnya kepada TrenAsia.id pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Menurutnya, dengan membiasakan diri melihat-lihat barang, dia jadi lebih terukur dalam mengambil keputusan belanja. "Kalau saya nanya-nanya dulu sebelum beli, ya itu bagian dari riset. Kalau disebut Rohana, ya saya juga akui," tambahnya sambil tertawa.
Maria mengaku, dia adalah tipikal yang selektif untuk membeli suatu barang termasuk di pusat perbelanjaan. Sehingga perlu lebih berpikir dari satu kali untuk bisa memutuskan sebelum membeli. Menurutnya perilaku tersebut sah-sah saja selama tidak mengganggu kenyamanan publik.
Cerita lain datang dari Zulfikar (25) pegawai swasta di Jakarta Pusat mengaku menjaga pola konsumsi diri sendiri. Ia bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan. Apalagi di tengah banyaknya godaan diskon, promosi, dan kemudahan paylater. "Saya tipikal yang punya tujuan, jadi bukan ke mal untuk jalan-jalan aja sih," katanya kepada TrenAsia.id.
Ia mengatakan, jika ia bukan tipikal orang yang suka window shopping sehingga mall menjadi opsi terkahir jika barang yang diinginkan tak ada di online. Cerita dari Maria dan Zulfikar menggambarkan dua sisi dari fenomena konsumsi generasi muda di era urban antara hiburan murah dan kontrol finansial. Di satu sisi, ada yang menjadikan mal sebagai ruang melepas penat sekaligus riset belanja. Di sisi lain, ada yang tetap berbelanja, namun sangat terukur dan tidak impulsif.
Fenomena ini pun memberikan pelajaran bagi pelaku ritel bahwa pola belanja masyarakat telah berubah. Pengalaman, fleksibilitas, dan edukasi menjadi kunci untuk tetap menarik minat konsumen yang makin kritis dan berhitung dalam membelanjakan uangnya.