
Risiko Pengawasan BUMN di Tangan Relawan dan Wakil Menteri
- Mengikuti pendahulunya, Presiden Prabowo Subianto menempatkan sejumlah relawan di posisi Komisaris BUMN. Presiden ke delapan juga menempatkan 32 wakil menteri di kursi empuk itu. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah melarangnya sejak enam tahun silam.
Kolom & Foto
Jabatan komisaris BUMN tengah menjadi buah bibir. Ini sehubungan dengan penempatan relawan dari kalangan artis dan wakil menteri yang ditempatkan sebagai komisaris di perusahaan plat merah. Relawan disorot karena dinilai nirkompetensi untuk mengawasi jalannya perseroan.
Sedangkan wakil menteri dianggap sejajar dengan menteri yang sejatinya sudah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk rangkap jabatan. Penegasan ini disampaikan oleh MK dalam putusan yang dibacakan hari Kamis (17 Juli 2025) lalu.
Dalam putusan perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025, MK menyebut larangan rangkap jabatan yang tercantum dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga berlaku bagi wakil menteri.
Tak lupa MK mengingatkan, sebetulnya larangan itu sudah ditegaskan dalam putusan sebelumnya, yakni perkara Nomor 80/PUU/XVII/2019. Namun meski larangan itu sudah berusia enam tahun, pemerintah abai untuk mematuhinya.
Seperti diketahui Presiden Prabowo Subianto telah mengangkat beberapa nama dari kalangan relawan sebagai komisaris BUMN, seperti Fauzi Baadila (aktor), Giring Ganesha (vokalis band Nidji), Yovie Widianto (musisi band Kahitna), Ari Sihasale (aktor). Lantas dari kalangan wakil menteri, sejak dilantik jadi Presiden ke delapan RI, Prabowo menempatkan 32 wakil menteri di kursi empuk itu.
Khusus soal pengangkatan komisaris dari kalangan relawan, agaknya Prabowo mengekor pada pendahulunya, Presiden Joko Widodo, yang tercatat mengangkat 19 nama. Salah satunya anggota band Slank, Abdi Negara, ditempatkan sebagai Komisaris Independen PT Telkom.
Tak bisa disangkal pengangkatan relawan sebagai komisaris BUMN merupakan politik balas jasa di masa kampanye. Alih-alih memberi honor mereka pakai dana APBN, lebih baik membagi beban itu ke korporasi negara. Sekadar info, pendapatan komisaris di sebuah perusahaan basah bisa mencapai Rp 10 miliar per tahun (gaji, tunjangan plus tantiem).
Tanggung Jawab Hukum Komisaris
Wajar jika masyarakat, pengamat politik dan pemerhati ekonomi hingga MK mempersoalkan posisi komisaris BUMN. Bukan apa-apa, sesuai UU Perseroan terbatas (PT) tugas komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan jalannya pengurusan perusahaan oleh direksi, serta memberikan nasihat kepada direksi.
Nah, bagaimana pengawasan bisa berlangsung efektif jika komisarisnya tidak memahami bisnis yang dijalankan oleh perusahaan. Jangankan dari kalangan relawan, yang berasal dari wakil menteri saja banyak yang tidak pas penempatannya.
Jangan salah, dalam kondisi tertentu komisaris juga bisa dimintai tanggung jawab jika PT mengalami kerugian. Pasal 114 ayat (3) UU PT menyatakan: “Anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya.”
Baca juga:
Ini berarti, jika PT merugi akibat kelalaian pengawasan dari komisaris, maka yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Ada pun bentuk-bentuk kelalaian komisaris yang bisa digugat meliputi: pertama, tidak melakukan pengawasan yang memadai atas keputusan direksi. Kedua, tidak mengajukan keberatan atas transaksi berisiko tinggi. Ketiga, tidak meminta klarifikasi laporan keuangan yang mencurigakan. Keempat, menyetujui laporan tahunan yang ternyata tidak valid. Dan kelima, tidak mengambil tindakan saat mengetahui potensi penyimpangan.
Selain gugatan perdata yang bisa berujung pemberian ganti kerugian dengan harta pribadi, komisaris bisa juga dituntut secara pidana. Ini berlaku dalam kondisi komisaris melakukan pembiaran terhadap tindak pidana korupsi, penggelapan dana oleh direksi serta penyalahgunaan wewenang yang diketahui oleh komisaris.
Jadi jika diamati secara cermat, sesungguhnya banyak kasus korupsi di BUMN yang terjadi akibat kelalaian komisaris dalam mengawasi. Sejumlah kasus korupsi, salah satunya di PT Timah sudah terjadi selama beberapa tahun. Dalam hal ini, kalau penyidik jeli seharusnya komisaris juga dimintai keterangannya. Apalagi setiap tahun si komisaris menandatangani hasil RUPS yang niscaya menyembunyikan kerugian negara.
Demikian halnya kasus pengoplosan BBM di Pertamina yang terjadi 2018-2023. Patut diduga ada kelalaian komisaris yang saban tahun selalu memberi persetujuan dan menandatangani hasil RUPS.
Lantas bagaimana dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang mulai berlaku pada 24 Februari 2025? Seperti diketahui, perangkat hukum anyar ini menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Menjawab keraguan itu, Menteri BUMN Erick Thohir secara tegas menyatakan bahwa tindak pidana korupsi tetap akan diproses hukum dan tidak ada hubungannya dengan status penyelenggara negara.
Ketua Komisi Pemberantasan Korpsi Setyo Budiyanto juga menyatakan UU BUMN baru bertentangan dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Ia mengatakan, keberadaan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan Penyelenggara Negara, yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN.
Lebih dari itu, Setyo berpendapat, penjelasan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 dapat dimaknai bahwa direksi dan komisaris BUMN masih berstatus penyelenggara negara. Dan hal itu juga ditegaskan oleh penjelasan pasal tersebut, yang bisa disimpulkan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999.
Baca juga:
Komisaris yang Menjalankan Tugasnya Malah Diberhentikan
Kembali ke tanggung jawab komisaris. Ada juga komisaris yang menjalankan tugasnya secara benar tapi malah diberhentikan. Itulah yang dialami mantan Komisaris Utama (Komut) PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Lalu Sudarmadi. Hal itu terungkap di sidang kasus dugaan korupsi kerja sama usaha perusahaan milik negara itu dengan PT Jembatan Nusantara. Sidang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (17 Juli 2025).
Sebagai mantan Komut ASDP, Lalu didengar keterangannya sebagai saksi. Pria 76 tahun itu mengungkapkan dirinya pernah mengingatkan risiko kerja sama ASDP dengan PT Jembatan Nusantara yang menjadi awal terjadinya korupsi.Duduk sebagai terdakwa adalah mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, eks Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, dan mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Muhammad Yusuf Hadi.
Lalu mengaku dewan komisaris sudah memberi saran dan risiko yang akan dihadapi ASDP jika rencana kerja sama dengan Jembatan Nusantara diwujudkan.
Jaksa KPK menuding Ira, Harry, dan Muhammad Yusuf telah merugikan keuangan negara senilai Rp 1,25 triliun dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP tahun 2019 hingga 2022. Kerugian keuangan itu terdiri dari nilai pembayaran saham akuisisi saham PT JN sebesar Rp 892 miliar, pembayaran 11 kapal afiliasi PT JN sebanyak Rp 380 miliar, serta nilai bersih yang dibayarkan ASDP kepada pemilik dan beneficial owner PT Jembatan Nusantara dan perusahaan afiliasi senilai Rp 1,272 triliun.
Dewan Komisaris, ungkap Lalu, telah menolak kerja sama ini di RUPS tahun 2016. Bahkan kejanggalan dari kerja sama itu telah dilaporkan ke Kementerian BUMN. Namun, laporan itu justru berujung pada pemberhentian Lalu. Dan acara serah terimanya yang berlangsung pada awal tahun 2020 juga hanya berlangsung secara daring.
Ah, jangan-jangan pemerintah memang tidak ingin memasang orang-orang yang kompeten dan mau bekerja secara profesional di posisi dewan komisaris BUMN. Makanya banyak mantan anggota tim relawan nirkompetensi plus wakil menteri yang ditempatkan sebagai komisaris yang tak sesuai bidangnya. Ini sungguh berbahaya, mengingat nilai korupsi dalam 10 tahun terakhir sudah menembus 1,5 kuadriliun!