Film K-Pop Demon Hunters.
Tren Leisure

Review Film K-Pop Demon Hunters: Perpaduan Aksi, Musik, dan Romansa Dunia Iblis

  • Film ini mengisahkan tiga gadis dengan kemampuan luar biasa yang berperan ganda sebagai superstar K-pop sekaligus pelindung dunia manusia dari ancaman raja iblis Gwi-Ma (Byung Hun Lee).

Tren Leisure

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Dalam dunia K-pop, penggemar selalu menjadi prioritas utama, setidaknya begitulah yang sering digaungkan oleh para idol Korea Selatan yang berhasil meraih ketenaran global berkat dukungan fanatik dari para pengikutnya.

Tanpa para penggemar, boy group BTS tak mungkin bisa menggelar konser hingga empat kali di SoFi Stadium, dan BLACKPINK pun tak akan mendapat kesempatan menjadi penampil utama di Coachella, bahkan film seperti K-Pop Demon Hunters mungkin takkan pernah mendapat lampu hijau untuk diproduksi.

Judulnya sudah cukup menggambarkan isi film ini, sebuah komedi aksi supranatural penuh energi dan konsep unik dari Sony Pictures Animation, studio animasi serbabisa yang juga memproduksi Spider-Man: Into the Spider-Verse dan The Mitchells vs. the Machines.

Film ini mengisahkan tiga gadis dengan kemampuan luar biasa yang berperan ganda sebagai superstar K-pop sekaligus pelindung dunia manusia dari ancaman raja iblis Gwi-Ma (Byung Hun Lee).

Dikenal publik dengan nama Huntrix, trio Mira (May Hong) si pemberontak dengan pedang woldo, Zoey (Ji-young Yoo) sang rapper asal Burbank, dan Rumi (Arden Cho) yatim piatu berambut kepang ungu merupakan ancaman tiga serangkai yang mematikan, mereka bisa bernyanyi, menari, dan membasmi iblis.

Saat tidak sedang membelah roh jahat dengan senjata berwarna pink menyala, mereka memanfaatkan cinta dan dukungan para penggemar untuk membangun sebuah penghalang pelindung bernama Golden Honmoon, tameng yang dirancang untuk menutup celah iblis secara permanen.

Namun Juni (Ahn Hyo-seop), salah satu pengikut Gwi-Ma yang paling tersiksa batinnya, muncul dengan ide cemerlang, bersama empat iblis lain yang tampak sangat tampan, ia membentuk grup tandingan bernama Saja Boys untuk mencoba menarik para penggemar Huntrix ke sisi kegelapan.

Yang tak disangka baik oleh Juni maupun Rumi adalah betapa kuatnya daya tarik satu sama lain yang mereka rasakan sebagai bintang pop dari dua dunia berbeda.

Alur romansa antara manusia dan iblis ini memang terkesan klise, namun yang mengejutkan adalah kenyataan bahwa K-Pop Demon Hunters, yang tayang di Netflix berbarengan dengan perilisan film Elio dari Pixar di bioskop, justru menjadi tontonan animasi yang lebih menghibur dari keduanya.

Hal ini terjadi karena duet sutradara Chris Appelhans (Wish Dragon) dan Maggie Kang (yang pernah bekerja di departemen cerita DreamWorks, Blue Sky, dan Illumination) memanfaatkan premis konyol mereka dengan cara yang benar-benar bebas dan penuh kreativitas, jauh lebih main-main dibanding pendekatan yang biasa digunakan studio-studio besar tersebut.

Tim kreatifnya terinspirasi dari webtoon dan manhwa (komik grafis Korea), dengan menonjolkan siluet dinamis alih-alih gerakan halus antar frame. Masih bingung maksudnya? Perhatikan bagaimana para karakter berhenti dalam pose-pose ekspresif dan energik, sementara kamera bergerak memutar dan men-zoom untuk menambah efek dramatis.

Teknik yang dulunya diterapkan demi efisiensi biaya dalam serial animasi seperti Speed Racer atau The Powerpuff Girls ini kini justru memberi K-Pop Demon Hunters sentuhan khas Asia, diperkaya lagi dengan elemen bergaya komik yang imut dan segar.

Contohnya, saat pertama kali Huntrix melihat Saja Boys, mereka langsung terpaku, mata mereka membesar dan berubah menjadi hati merah mengembang. Saat terpukau oleh tubuh atletis para pria itu, mata Zoey berubah bentuk berkali-kali, dari gambar perut kotak-kotak hingga menjadi sepasang tongkol jagung mentega

Reaksi Zoey yang tergila-gila ini menjadi versi unik dan tak terlupakan dari karakter serigala genit dalam kartun Tex Avery “Red Hot Riding Hood,” saat dua semburan popcorn meletup dari wajahnya yang memerah seperti air mata bahagia.

Alih-alih terkesan menjijikkan, adegan kekerasan dalam film ini justru tampil memikat secara visual. Senjata milik trio Huntrix begitu tajam hingga mampu membelah iblis, yang dikenali lewat guratan ungu bergerigi di kulit mereka yang mirip zombie, dengan bersih, atau membuat mereka meledak menjadi semburan konfeti.

Di kemudian hari, para iblis muncul menyerbu melalui celah di penghalang Honmoon, berlari merangkak seperti Gollum sambil menyedot jiwa manusia di sekitar mereka (lebih banyak disiratkan daripada ditampilkan demi menjaga rating PG film ini).

Dengan tempo cepat dan efisien, film ini menyelesaikan babak awal yang penuh eksposisi hanya dalam waktu kurang dari 15 menit, tepat saat penonton mengetahui rahasia besar Rumi, ia ternyata anak dari ibu seorang penyanyi pop dan ayah seorang iblis, dan memiliki tanda ungu khas seperti para makhluk yang ia buru.

Satu-satunya orang yang mengetahui status campuran Rumi adalah pelatih tepercaya Huntrix, Celine (Yunjin Kim), yang meyakini bahwa Rumi mampu mengendalikan sisi iblis dalam dirinya. Namun, sang mentor tidak pernah membayangkan muridnya justru akan jatuh cinta pada sosok iblis seperti Juni, yang ternyata juga menyimpan rahasia tersembunyi.

Subplot tentang masalah suara Rumi terasa kurang berhasil, meskipun bagian ini memperlambat alur cerita cukup lama untuk menyelipkan momen karakter yang menghibur, seperti kunjungan ke spa yang penuh aksi dan liburan singkat yang dihiasi dengan bubble tea serta bingsu.

Seperti tren film animasi CG masa kini, tak lengkap rasanya tanpa kehadiran hewan pendamping yang menggemaskan. Dalam film ini, peran itu diisi oleh iblis harimau yang selalu tersenyum dan burung hitam kecil yang mengenakan gat (topi tradisional Korea), keduanya dirancang seolah-olah langsung keluar dari cerita rakyat Korea.

Sudut pandang K-pop menjadi tantangan tersendiri bagi para pembuat film, karena animasi ini membutuhkan lagu-lagu orisinal yang kuat agar benar-benar hidup, serta koreografi yang menarik untuk membedakannya dari serial klasik seperti “Josie and the Pussycats” atau “Jem and the Holograms.”

Soundtrack film ini, yang merupakan hasil kolaborasi para produser musik papan atas, menyajikan campuran lirik berbahasa Inggris dan Korea (macaronic) dengan tiga lagu andalan dari Huntrix: “How It’s Done,” “Golden,” dan “Takedown,” yang versi penutupnya dinyanyikan oleh Twice.

Namun yang paling menonjol adalah lagu “Free,” sebuah duet memikat antara Ejae dan Andrew Choi, yang menjadi pengisi suara nyanyian Rumi dan Juni.

Karena film ini lincah berpindah antar genre dan berlatar di dunia K-pop, para penonton mungkin tidak langsung menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang menonton sebuah film musical, meskipun pada akhirnya sulit untuk menyangkal, terutama saat tanpa sadar ikut menyanyikan lagunya. Film terbaru Netflix ini tayang perdana pada Jumat, 20 Juni 2025.