gaza.jpg
Tren Global

Puluhan Juta Ton Puing dan Rp1.304 Triliun Dana, Beratnya Membangun Kembali Gaza

  • Kebutuhan dana rekonstruksi Gaza diperkirakan mencapai US$53 hingga US$80 miliar (sekitar Rp864,9 triliun hingga Rp1.304 triliun) dengan cakupan pemulihan selama 10 hingga 30 tahun ke depan.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

GAZA - Upaya membangun kembali Jalur Gaza pasca-konflik menghadapi tantangan besar, meskipun dukungan finansial diperkirakan akan mengalir dari sejumlah negara dan lembaga internasional.  

Berdasarkan data yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan Bank Dunia pada Selasa 18 Februari 2025, total kebutuhan dana rekonstruksi Gaza diperkirakan mencapai US$53 hingga US$80 miliar (sekitar Rp864,9 triliun hingga Rp1.304 triliun) dengan cakupan pemulihan selama 10 hingga 30 tahun ke depan.

Laporan tersebut merinci bahwa kerusakan di Gaza mencakup hampir seluruh sektor vital. Sektor perumahan, misalnya, membutuhkan sekitar US$15,2 miliar (sekitar Rp247,76 triliun) untuk membangun kembali lebih dari 292.000 unit rumah yang rusak atau hancur.

Infrastruktur publik seperti jaringan listrik, air bersih, jalan raya, dan fasilitas kesehatan diperkirakan menelan biaya sebesar US$18,5 miliar (sekitar Rp301,55 triliun). 

Selain itu, proses pembersihan lebih dari 50 juta ton puing yang mengandung bahan berbahaya dan jasad manusia diperkirakan membutuhkan US$1,2 miliar (sekitar Rp19,56 triliun) serta waktu pengerjaan selama 14 hingga 21 tahun. Untuk sektor kesehatan saja, biaya yang dibutuhkan mencapai US$10 miliar (sekitar Rp163 triliun), belum termasuk biaya tambahan untuk pendidikan dan layanan sosial lainnya.

Donor dan Skema Pendanaan

Sejumlah negara dan organisasi telah menyatakan komitmennya terhadap pendanaan rekonstruksi. Negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE), dan Qatar menginisiasi pembentukan Dana Arab.

Di sisi lain, Uni Eropa dan Bank Dunia terlibat dalam penilaian kerusakan dan penyusunan peta jalan pemulihan, meskipun belum mengumumkan kontribusi dana secara konkret. Sebaliknya, Amerika Serikat di bawah Presiden Trump menolak untuk terlibat dalam pembiayaan, dan justru mengusulkan relokasi warga Palestina, ide kontroversial yang mendapat penolakan keras dari Liga Arab.

Di luar jalur negara, sejumlah organisasi kemanusiaan juga mengambil peran. Salah satunya adalah Alkhidmat Foundation asal Pakistan yang meluncurkan kampanye “Rebuild Gaza” senilai US$53,6 juta (sekitar Rp874,68 miliar) untuk membangun rumah sakit, sekolah, serta fasilitas air bersih.

Tantangan Politik dan Teknis

Meskipun komitmen finansial mulai terlihat, sejumlah hambatan besar masih mengancam proses rekonstruksi Gaza. Dari sisi politik, Israel menolak keterlibatan langsung Hamas maupun Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza. Di sisi lain, proposal pembentukan administrasi sipil sementara oleh negara-negara Teluk masih dalam tahap negosiasi dan belum mencapai kesepakatan final.

Selain itu, kebijakan blokade terhadap barang-barang dual-use seperti bahan bangunan penting menjadi penghalang utama dalam proses pemulihan fisik. Ketidakpastian keamanan pasca-gencatan senjata juga meningkatkan risiko bahwa proyek-proyek rekonstruksi akan kembali hancur, seperti yang terjadi pada tahun 2014, ketika dana sebesar US$5,4 miliar (sekitar Rp88,02 triliun) hilang percuma akibat konflik ulang.

Dari sisi sosial-ekonomi, tingkat pengangguran yang mencapai 90% dan lebih dari 1,8 juta warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal memperparah beban logistik dan kemanusiaan yang dihadapi.

Pemulihan Gaza tidak hanya persoalan dana, tetapi juga soal legitimasi politik dan koordinasi antarnegara. Tanpa struktur pemerintahan yang diakui bersama dan tanpa penghapusan hambatan logistik, proses rekonstruksi berpotensi terhambat dalam jangka panjang. 

Peran organisasi non-pemerintah (NGO) menjadi semakin penting dalam mengisi kekosongan bantuan langsung, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan. Namun, untuk membangun Gaza secara berkelanjutan dan bermartabat, dibutuhkan terobosan politik serta jaminan stabilitas yang jauh lebih kokoh daripada sekadar gencatan senjata sementara.