<p>Kantor PT Timah di kawasan Gambir Jakarta Pusat. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Korporasi

PT Timah Tak Capai Target Sejak 2021, Dirut Baru Soroti Tambang Ilegal

  • Produksi bijih timah dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2021 ditargetkan sebesar 47.281 ton, namun realisasinya hanya 24.670 ton

Korporasi

Alvin Bagaskara

JAKARTA — Direktur Utama baru PT Timah Tbk (TINS), Restu Widiyantoro, mengungkapkan bahwa dalam empat tahun terakhir, perusahaan gagal memenuhi target produksi bijih timah.  Hal ini disampaikan dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025, menjadi pernyataan publik perdananya usai resmi menjabat pada awal bulan ini. 

Asal tahu saja, produksi bijih timah dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2021 ditargetkan sebesar 47.281 ton, namun realisasinya hanya 24.670 ton. Pada 2022, produksi kembali meleset, hanya mencapai 20.079 ton dari target 45.000 ton yang telah ditetapkan manajemen.

Kondisi tersebut berulang pada 2023 dengan target 29.000 ton, tetapi realisasi hanya 14.855 ton. Adapun tahun 2024 juga mencatat kinerja serupa, yakni hanya 19.437 ton dari target RKAB sebesar 37.000 ton. Hingga kuartal I-2025, realisasi baru mencapai 3.215 ton dari target 20.000 ton.

Restu menguraikan terdapat empat penyebab utama di balik merosotnya produksi. Pertama, penambangan ilegal yang makin marak di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Kedua, lemahnya pengawasan serta penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal tersebut.

Faktor ketiga adalah keterlambatan implementasi produksi di wilayah baru karena ketidakpastian tata ruang dan zonasi. Keempat, tata kelola niaga dan pertambangan timah yang belum optimal turut menjadi hambatan utama dalam mencapai target operasional.

“Secara umum dari chart-chart yang kami sajikan pada 4 tahun terakhir ini, kinerja perusahaan belum bisa sesuai yang kami programkan pada awal tahun,” kata Restu.

Kendali Terganggu, Tambang Ilegal Makin Masif

Masalah diperparah sejak mencuatnya kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang menyeret nama Harvey Moeis. Restu menyatakan bahwa sejak kasus tersebut bergulir, pengendalian operasional perusahaan di lapangan nyaris hilang dari tangan manajemen.

“Kondisi yang sekarang dihadapi terutama sejak ada kasus Harvey Moeis dan kawan-kawan, jadi memang sekarang hampir operasional perusahaan dikendalikan bukan oleh PT Timah secara langsung,” ujarnya.

Meski telah dilakukan berbagai penertiban, termasuk menenggelamkan ratusan ponton tambang ilegal, gelombang aktivitas liar justru terus bertambah. Ironisnya, aktivitas tersebut melibatkan banyak warga lokal yang terlibat dalam kegiatan penambangan tanpa izin.

Dalam rapat tersebut, Komisi VI DPR RI memberikan sejumlah masukan, termasuk skema koperasi sebagai pendekatan legal untuk mengelola tambang rakyat. Restu menyatakan bahwa opsi tersebut akan menjadi bahan pertimbangan serius oleh manajemen ke depan.

“Tadi kami sudah diarahkan beberapa hal, seperti menggunakan pengoperasian melalui koperasi. Jadi, kami sudah dapat ide banyak setelah berkomunikasi dengan Komisi VI,” ujarnya.

Selain gangguan eksternal, PT Timah juga menghadapi kendala struktural di sisi perizinan. Restu mengungkapkan bahwa sekitar 31% wilayah IUP perusahaan tidak bisa dioperasikan secara maksimal karena berada di kawasan hutan produksi atau mengalami tumpang tindih penggunaan lahan.

“Di wilayah IUP kami masih ada beberapa tumpang tindih dan ada juga yang masuk dalam kawasan hutan produksi, sehingga permasalahan ini terjadi pada kurang lebih 31% IUP kami yang tidak bisa dilakukan operasi secara maksimal,” katanya.

Sebagai informasi, kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah periode 2015–2022 telah menyeret 16 orang sebagai tersangka. Selain Harvey Moeis, sejumlah mantan pejabat PT Timah dan pihak swasta turut terlibat. Kerugian ekologis akibat kasus ini ditaksir mencapai Rp271 triliun.