
Prabowo Mau Hapus Outsourcing, Negara Maju Ini Justru Sebaliknya
- Indonesia bersiap menghapus outsourcing, sementara negara maju justru mengaturnya ketat. Hal ini membuat pro dan kontra antara serikat pekerja dan asosiasi pengusaha.
Nasional
JAKARTA – Ketika negara-negara maju seperti Swedia, Jerman, dan Norwegia tetap mempertahankan praktik outsourcing dengan regulasi ketat, Indonesia justru mengambil langkah berseberangan. Pemerintah menyatakan akan menghapus sistem kerja alih daya secara bertahap, dimulai dari sektor strategis.
Pernyataan itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2025. Ia menegaskan bahwa praktik kerja kontrak jangka panjang yang tidak adil akan dikaji ulang, terutama di sektor BUMN dan layanan publik yang dinilai rentan terhadap penyimpangan hubungan kerja.
Langkah ini disambut positif oleh serikat pekerja. Namun, organisasi pengusaha menyampaikan keberatan. Apindo dan Kadin menyebut bahwa penghapusan sistem kerja fleksibel dapat mengganggu daya saing industri dan menambah beban biaya operasional, khususnya di sektor padat karya.
- Kompolnas: Kejahatan Siber Ancaman Global, Bukan Lagi Masalah Lokal
- Siapakah Sosok Emma Chamberlain? Influencer yang Memandu Karpet Merah Met Gala 2025
- Naik Tipis, Harga Emas Antam Hari ini Naik Menguat Rp3.000
Celah Regulasi dan Lemahnya Perlindungan
Sistem outsourcing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan direvisi melalui UU Cipta Kerja pada 2020. Revisi regulasi ini seyogyanya memberi keleluasaan kepada perusahaan untuk menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga, termasuk untuk fungsi yang bersifat tetap.
Namun, pengawasan yang lemah menjadikan banyak pekerja terjebak dalam kontrak jangka panjang tanpa status kerja yang jelas. Mereka tidak mendapatkan hak normatif secara penuh, seperti jaminan sosial, pesangon, dan kepastian hubungan kerja yang semestinya dijamin undang-undang.
Laporan LBH Jakarta pada 2018 mencatat ribuan pekerja outsourcing di BUMN mengalami pelanggaran hak. Temuan tersebut meliputi PHK sepihak, kontrak kerja tanpa batas waktu yang jelas, hingga pemberian upah di bawah standar minimum yang ditetapkan pemerintah.
Di sisi lain, belum ada data resmi yang memetakan jumlah tenaga kerja outsourcing secara nasional. Kekosongan ini menyulitkan perumusan kebijakan yang berbasis bukti dan menghambat pengawasan terhadap praktik ketenagakerjaan di sektor-sektor kunci.
Ketimpangan Upah dan Alasan Efisiensi
Asal tahu saja, data BPS per Februari 2024 menunjukkan rata-rata upah bersih nasional sebesar Rp3,07 juta per bulan. Sektor pertanian, misalnya, mencatatkan upah rata-rata Rp2,1 juta, sedangkan sektor informasi dan komunikasi mencapai Rp5,9 juta. Ini menunjukkan disparitas upah pekerja antar sektor sangat tinggi.
Kesenjangan ini mendorong perusahaan untuk mencari cara efisien dalam mengelola biaya tenaga kerja. Di sektor padat karya, skema outsourcing dipilih karena dianggap fleksibel, meski kerap mengabaikan hak-hak dasar pekerja kontrak yang rentan dieksploitasi.
Bagi dunia usaha, fleksibilitas tenaga kerja dipandang sebagai elemen penting dalam menghadapi dinamika industri. Apindo berpendapat bahwa daripada menghapus sistem alih daya, pemerintah sebaiknya memperkuat penegakan regulasi agar praktik tersebut tidak disalahgunakan.
Namun bagi serikat buruh, fleksibilitas sering kali menjadi kedok untuk menghindari tanggung jawab hukum. Mereka menilai penghapusan justru bisa menjadi momentum untuk membangun sistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan di tengah transformasi ekonomi.
Pelajaran dari Negara Maju
Berbeda dengan situasi di Indonesia, sejumlah negara maju menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja dapat berjalan seiring dengan perlindungan hukum yang kuat. Swedia, Jerman, dan Norwegia menerapkan sistem yang menjamin kesetaraan perlakuan bagi seluruh pekerja, termasuk kontrak.
Di Swedia, regulasi seperti Employment Protection Act dan Discrimination Act memastikan bahwa status kontrak tidak menjadi dasar diskriminasi. Pekerja alih daya berhak atas kompensasi, jam kerja yang wajar, serta jaminan sosial yang sama dengan pekerja tetap.
Wouter Zwysen (2024) mencatat bahwa pekerja kontrak di Swedia dapat beralih menjadi pekerja tetap setelah memenuhi masa kerja tertentu. Proses ini diatur melalui perjanjian bersama yang diakui negara antara perusahaan dan serikat pekerja.
Jerman menerapkan regulasi Arbeitnehmerüberlassungsgesetz (AÜG) yang mewajibkan kesetaraan perlakuan bagi pekerja kontrak setelah sembilan bulan bekerja di perusahaan yang sama. Sistem ini diperkuat dengan kehadiran dewan pekerja atau Betriebsrat di setiap perusahaan besar.
Hal ini diperkuat oleh temuan Riffat Hasan dan Oliver Kruse (2023), Betriebsrat memiliki mandat hukum untuk meninjau dan mengintervensi kebijakan ketenagakerjaan, termasuk risiko yang timbul dari praktik alih daya terhadap stabilitas dan kesejahteraan karyawan.
Sementara itu, Norwegia mengambil pendekatan yang lebih ketat melalui Working Environment Act. Hubungan kerja permanen ditetapkan sebagai norma, dan penggunaan kontrak kerja sementara hanya diperbolehkan dalam situasi khusus seperti proyek temporer atau pengganti cuti.
Kendati demikian, perlakuan hukum terhadap pekerja kontrak tetap dijamin setara. Studi Jørgen Svalund dan Tomas Berglund (2018) menunjukkan bahwa pekerja sementara di Norwegia mendapat jaminan sosial universal dan tidak mengalami diskriminasi dalam kompensasi atau keselamatan kerja.
Dari ketiga negara tersebut terlihat bahwa efisiensi ekonomi dan perlindungan pekerja bukanlah dua kutub yang saling bertentangan. Selama ada regulasi yang berpihak, pengawasan yang aktif, serta partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan, fleksibilitas kerja tetap dapat dijalankan secara adil.