korupsi ilustrasi.jpg
Nasional

PPATK Temukan Korupsi Terstruktur Rp984 Triliun, Negara di Ambang Kleptokrasi

  • Laporan tersebut juga menjadi sinyal keras bahwa korupsi di Indonesia tak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi, melainkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur kekuasaan.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali menyalakan alarm darurat. Laporan yang dipaparkan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebutkan bahwa total aliran dana mencurigakan terkait dugaan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2024 mencapai Rp984 triliun.

Laporan tersebut  disampaikan Ivan dalam peringatan Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) ke-23 pada hari Kamis, 17 April 2025 yang lalu.

“Nominal transaksi terkait dugaan tindak pidana korupsi memiliki nilai terbesar dengan total nominal transaksi sebesar Rp984 triliun,” ungkap Ivan dalam keterangan resi di Jakarta, dikutip Rabu, 23 April 2025.

Angka ini bisa menjadi indikator dan cermin keroposnya sistem integritas nasional. Laporan tersebut juga menjadi sinyal keras bahwa korupsi di Indonesia tak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi, melainkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur kekuasaan. Sebuah pola yang bisa disebut sebagai korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Rp984 Triliun: Angka yang Tak Boleh Diabaikan

Dari total transaksi mencurigakan sebesar Rp1.459 triliun yang berhasil diidentifikasi PPATK pada 2024, porsi terbesar adalah aliran dana terkait korupsi. 

“Selama periode Januari sampai dengan Desember diketahui bahwa nominal transaksi yang diidentifikasi transaksi dugaan tindak pidana sebesar Rp1.459 triliun,” jelas Ivan.

Sisanya berasal dari dugaan tindak pidana perpajakan (Rp301 triliun), perjudian (Rp68 triliun), dan narkotika (Rp9,75 triliun). Angka-angka ini dirilis berdasarkan hasil pemantauan dan kajian National Risk Assessment (NRA). Ivan menekankan bahwa korupsi harus menjadi prioritas utama penegakan hukum. 

Data yang dirilis PPATK bukan hanya angka. Laporan tersebut menjadi bukti bahwa korupsi telah bertransformasi dari sekadar kejahatan individual menjadi bagian dari mekanisme sistemik.

 Proyek-proyek pemerintah, birokrasi yang permisif, hingga penggunaan lembaga keuangan formal sebagai saluran transaksi mencurigakan menunjukkan bahwa negara justru telah menjadi fasilitator dari kejahatan tersebut.

Kepala PPATK juga menyoroti bahwa banyak transaksi dilakukan melalui jalur-jalur resmi seperti bank nasional dan lembaga negara. Kondisi ini mempertegas bahwa celah korupsi tidak hanya terbuka, tetapi bahkan dibiarkan menganga oleh sistem yang seharusnya menutupnya.

Senjakala Penegakan Hukum: Di Mana Negara?

Hingga berita ini diturunkan, belum ada perintah khusus dari Presiden untuk melakukan audit menyeluruh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun belum mengumumkan langkah lanjutan terhadap laporan senilai hampir seribu triliun ini. 

Padahal terdapat lebih dari 150 laporan analisis PPATK yang belum ditindaklanjuti oleh KPK, termasuk kasus-kasus besar di sektor pertambangan dan proyek infrastruktur nasional.

Alih-alih mengambil sikap tegas, lembaga legislatif justru tenggelam dalam euforia politik pasca Pemilu 2024. Tidak satu pun fraksi di DPR menyuarakan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti temuan ini.

Ironi makin terasa ketika lembaga penegak hukum justru gencar menangani kasus-kasus kecil dan menjerat pegawai rendahan. Senagai contoh dalam kasus pagar laut di Tangerang, penegak hukum menjebloskan kroco-kroco dibalik kejahatan tersebut.

Kepala Desa Kohod, Arsin, bersama tiga orang lainya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam kasus pemalsuan dokumen kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah pagar laut perairan Tangerang.

Sementara itu, nama-nama besar yang diduga terlibat dalam pusaran pagar laut tersebu tampak kebal hukum, berlindung di balik kekuatan politik dan jaringan kekuasaan.

Menurut sumber internal, terdapat dugaan kebocoran informasi dari dalam lembaga yang seharusnya menjaga kerahasiaan data investigasi, sehingga banyak kasus besar berakhir tanpa proses hukum.

Ketua KPK Setyo Budiyanto mengakui bahwa kolaborasi lintas lembaga, terutama dengan PPATK, sudah lama berlangsung. Data dari PPATK dinilai sangat penting dalam mengungkap akar korupsi. Namun, kolaborasi ini tampaknya tidak diiringi oleh tindak lanjut yang nyata dan progresif.

“Dukungan hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK sangat membantu KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi hingga akarnya" ungkap Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam kesempatan yang sama.

Korupsi bukan hanya kejahatan ekonomi, melainkan kejahatan terhadap masa depan bangsa. Dana sebesar Rp984 triliun yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan pembangunan infrastruktur justru lenyap dalam transaksi gelap. 

Angka ini menyumbang terhadap stagnasi pertumbuhan ekonomi, memperparah ketimpangan, dan menggerus kepercayaan publik terhadap negara.