
Pertumbuhan Ekonomi Anjlok, Pengangguran Meningkat, Premanisme Merebak
- Indikator perekonomian Indonesia di kuartal I 2025 menurut lembaga domestik maupun internasional menurun. Pemerintah perlu fokus pada pembukaan lapangan kerja dan memberi perhatian serius terhadap data kebocoran Rp984 triliun dari PPATK.
Kolom & Foto
Sudah bukan saatnya lagi bagi pemerintah untuk mengabaikan data dan fakta perekonomian Indonesia. Data dari dalam negeri maupun lembaga internasional menunjukkan tren menurun.
Senin, 5 Mei 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), melambat dibandingkan capaian pada kuartal IV-2024 yang tumbuh 5,02 persen dan kuartal I-2024 yang tumbuh 5,11 persen.
Bahkan pertumbuhan periode ini merupakan yang terendah sejak kuartal III 2021 yang mencapai 3,53 persen. Sebelumnya Bank Indonesia juga merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 berkisar 4,7 persen hingga 5,5 persen pada 2025.
Proyeksi dari BI seiring perkiraan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang mematok angka 4,7 persen untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dan 2026. Sedangkan Bank Dunia menyodorkan angka 4,7 persen untuk tahun 2025 , lalu 4,8 persen pada 2026 dan 5 persen tahun 2027.
Proyeksi tak jauh beda juga disampaikan oleh Moody’s yang memperkirakan pertumbuhan Indonesia rata-rata sebesar 5 persen untuk 2025 dan 2026. Angka pertumbuhan yang tersendat ini, herannya direspon dengan sebelah mata.
Menko Perekonomian Hartarto saat dimintai komentarnya oleh wartawan, Rabu, 7 Mei 2024, justru menyatakan pertumbuhan Indonesia yang 5 persen itu merupakan yang kedua terbaik di antara negara G 20.
Di sini tampak jelas betapa pemerintah tak punya sense of crisis. Padahal data-data perekonomian lainnya juga tak menggembirakan. BPS mengingatkan konsumsi rumah tangga melemah, juga angka pengangguran yang bertambah.
Perlambatan konsumsi rumah tangga pada Kuartal I 2025 tak bisa diremehkan lantaran di periode ini terdapat libur tahun baru, bulan Ramadhan dan Idul Fitri, yang selama ini menjadi booster bagi perekonomian Indonesia.
Dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 4,98 persen, empat bulan pertama tahun ini melambat 0,09 persen dibanding tahun lalu. Tapi bila dibandingkan kuartal IV tahun 2024 merosot 0,98 persen.
BPS juga mencatat jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 1,11 persen secara tahunan pada Februari 2025. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025, atau meningkat 83.450 orang dibandingkan Februari 2024.
Jumlah tersebut merupakan 4,76 persen dari total jumlah angkatan kerja di pasar tenaga kerja Indonesia yang sebanyak 153,05 juta orang.
Pengangguran Akan Terus Meningkat
Seiring dengan itu IMF memperkirakan tingkat pengangguran di Indonesia akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan sebagai dampak dari memanasnya perang dagang.
Dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025, lembaga yang bermarkas Washington DC memproyeksikan angka pengangguran di Indonesia mencapai 5,0 persen pada tahun 2025, naik dari 4,9 persen pada tahun sebelumnya. Pada 2026, angka ini diperkirakan melonjak ke 5,1 persen.
Memburuknya angka pengangguran tentu tak lepas dari perang dagang AS-China serta perang Rusia-Ukraina. Namun khusus untuk Indonesia ada satu peroalan pelik yang sesungguhnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Yakni premanisme. Sudah bukan rahasia lagi jika aktivitas preman bukan hanya meresahkan masyarakat, tapi juga dapat menurunkan kepercayaan investor.
Sebagaimana diketahui pembangunan pabrik mobillistrik BYD di Subang, Jawa Barat mengalami kendala akibat tindakan premanisme yang dilakukan oleh segelintir oknum dari organisasi masyarakat (Ormas). Padahal, jika tak ada aral melintang, setelah beroperasi tahun 2026 diperkirakan pabrik ini dapat menyerap 18.000 tenaga kerja.
Nasib serupa juga dialami investor mobil elektrik dari Vietnam, VinFast, yang membuka pabrik di Subang, Jawa Barat. Industri yang mematok target 50.000 unit mobil per tahun diprediksi membutuhkan 1.000 hingga 3.000 pekerja secara langsung.
Jumlah itu akan berlipat ganda dari industri pendukungnya, seperti pemasok komponen, logistik, dan infrastruktur. Belum lagi jika rencana pembangunan stasiun pengisian daya sebanyak 30.000 hingga 100.000 di seluruh Indonesia terwujud.
Nah, apa jadinya jika premanisme terus dibiarkan mengganggu investor. Jawabannya sederhana: perlahan tapi investor hengkang, PHK merebak, pengangguran membengkak. Masalah ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Apalagi untuk meyakinkan investor mau menanamkan uangnya di Indonesia juga tidak mudah. Sudah begitu, strategi investasi yang digunakan pemerintah dalam 10 tahun terakhir tak mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Coba bandingkan dengan penyerapan tenaga kerja di periode 2009-2014, sektor formal menyerap 15,6 juta orang dalam lapangan kerja yang tercipta. Lantas, jumlah ini menurun menjadi 8,5 juta pada periode 2014-2019 dan merosot tajam menjadi 2 juta pada periode 2019-2024.
Data yang disampaikan IMF malah lebih miris. Tahun 2024, Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di AsiaTenggara. Persentase tingkat penganggurannya mencapai 5,2 persen, lebih tinggi dari rerata 3,29 persen. Bila dibandingkan tahun sebelumnya, angka pengangguran itu hanya turun 0,1 persen dari 5,3 persen pada 2023.
Hilirisasi Menggusur Industrialisasi
Biang keladi dari melambungnya angka pengangguran tak lain strategi pemerintah yang lebih mengedepankan hilirisasi ketimbang industrialisasi. Hilirisasi yang sukses menggenjot angka ekspor nasional nyatanya memerlukan modal yang besar tapi menyerap sedikit tenaga kerja.
Sedangkan industrialisasi yang modalnya tak sebesar hilirisasi menyerap banyak tenaga kerja. Berbagai studi menunjukkan menunjukkan pada 2014, setiap Rp1 triliun investasi menciptakan penyerapan 3.313 orang tenaga kerja, sementara pada 2023 hanya 1.283 orang.
Nah, dengan terus merosotnya lapangan kerja yang bisa disiapkan pemerintah, tentu saja bakal diikuti dengan bertambahnya angka pengangguran. Jika pemerintah tak mampu mengatasinya, niscaya angka pengangguran meroket, dan ujung-ujungnya kriminalitas yang diperankan oleh kelompok preman berkedok ormas kian menjadi-jadi.
Selain mengatur ulang strategi investasi, pemerintah juga wajib bersikap tegas terhadap koruptor. Angka Rp984 triliun yang diungkap PPATK sebagai transaksi yang diduga terkait tindak pidana korupsi pada tahun 2024 seharusnya menjadi alarm pengingat bagi Presiden Prabowo.
Jika kita bandingkan dengan APBN 2024 yang mencapai Rp2.802,3 triliun, berarti kebocoran yang dipaparkan PPATK setara 30 persen. Angka ini sama dengan yang disampaikan orang tua Prabowo, yaitu begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo, 35 tahun lampau.
Namun angka ini bisa jadi lebih besar. Sebab yang bisa terdeteksi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebatas pada transaski melalui instrumen perbankan. Nah, para pelaku korupsi sudah pasti banyak menghindari mekanisme formal itu.
Salah satu cara yang efektif sudah pasti penegakan hukum yang tegas. Jangan ada lagi terdakwa korupsi dijatuhi hukuman penjara di bawah lima tahun. Hukum koruptor dengan sanksi maksimal.
Bikin mereka kapok dengan tidak memberi bonus remisi dan pemotongan hukum di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Jika cara itu efektif dijalankan, rasanya pemerintah tak harus memberlakukan pelbagai macam pungutan yang membuat rakyat tambah sengsara.
Jika kebocoran bisa dicegah, tak perlu ada yang namanya Tapera, asuransi TPL (asuransi kendaraan terhadap kerugian pihak ketiga), opsen pajak kendaraan dan sejumlah pungutan lainnya.
Selain itu, negara kita sangat kaya akan sumber daya alam. Jangan kekayaan itu hanya dapat dinikmati segelintir orang. Beri para penikmat sumber daya alam itu dengan pajak yang adil.