
Perspektif Pahit di Balik Slogan: 'UMKM Adalah Tulang Punggung Perekonomian Negara'
- Narasi lama perlu diganti. Sudah saatnya pemerintah berhenti berlindung di balik statistik dan mulai membangun fondasi ekonomi formal yang sehat: dari industrialisasi, hilirisasi, hingga pendidikan dan pelatihan tenaga kerja.
Tren Inspirasi
JAKARTA - Pemerintah Indonesia selama ini selalu menyebut UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Klaim ini seolah menjadi mantera yang terus diulang dalam berbagai kebijakan dan kampanye pembangunan ekonomi. Tapi, apakah itu benar?
Diskusi tajam yang melibatkan tiga tokoh muda—Raymond Chin (konten kreator finansial dan Founder Sevenpreneur), Ferry Irwandi (Founder Malaka Project), dan Timothy Ronald (Founder Akademi Crypto)—mengupas realitas di balik narasi UMKM. Bukannya membenarkan, mereka justru kompak menyebutnya sebagai propaganda yang menyesatkan dan bahkan berbahaya bagi arah ekonomi bangsa.
Raymond Chin menggarisbawahi bahwa banyaknya UMKM di Indonesia bukan bukti keberhasilan ekonomi, tapi lebih pada akibat dari minimnya lapangan kerja formal.
- Efek Sihir MSCI Bikin Saham Prajogo Terbang, Tapi Ada Risikonya Loh!
- Kontroversi Wilmar Group: dari Korupsi Sawit hingga Beras Oplosan
- Krisis Iklim Ancam Kenyamanan Nonton Konser Musik
“Orang-orang jadi UMKM karena gak ada opsi lain,” katanya dalam diskusi di kanal YouTube Ferry Irwandi, dikutip Selasa, 15 Juli 2025. Ferry Irwandi sepakat, menyebut bahwa UMKM hari ini bukan solusi, tapi gejala darurat ekonomi. “Sektor informal gak bisa jadi kebanggaan. Yang bisa dibanggakan itu ketika UMKM naik kelas dan masuk industri formal,” ujarnya.
Timothy Ronald: “UMKM Itu Pembodohan Publik, Bukan Penyelamat Bangsa”
Kritik paling tajam datang dari Timothy Ronald, konten kreator finansial yang dikenal vokal dan blak-blakan. Ia menilai bahwa narasi UMKM sebagai tulang punggung ekonomi adalah brainwashing sistemik.
“Menurut gue, itu pembodohan publik. UMKM tuh jadi alat buat nurunin angka pengangguran doang,” katanya.
“99% dari UMKM itu gak pernah grow bro. Itu cuman kayak lo jualan pisang di jalan doang. Ini normalisasi kemiskinan lewat kata-kata,” tambahnya.
Timothy menyebut bahwa glorifikasi UMKM justru memperparah ketidakadilan ekonomi. Ia menyebut margin yang tipis, skill yang stagnan, dan minimnya SDM membuat UMKM tidak pernah bisa scale-up.
“Rata-rata UMKM itu gak bisa scale up sampe mereka mati,” tegasnya.
“Jadi kalau ada yang bilang UMKM itu penyelamat bangsa, menurut gue enggak. Itu cuma glorifikasi,” imbuhnya.
Baca Juga: Mau UMKM Makin Laris? Ini Cara Cerdas Manfaatkan AI Tanpa Biaya Mahal
UMKM Adalah Alat Statistik? Kritik Terhadap Manipulasi Indikator Ekonomi
Salah satu poin penting yang diangkat Timothy adalah bagaimana UMKM digunakan untuk menutupi angka pengangguran. Dalam narasi resmi, UMKM selalu disebut sebagai penyerap tenaga kerja terbesar. Tapi, menurut Timothy, hal ini tidak mencerminkan kualitas pekerjaan maupun kesejahteraan.
“UMKM tuh cuma buat data economic indicator, biar unemployment rate-nya rendah. Itu taktiknya,” ujar Timothy.
Pernyataan ini senada dengan kritik Raymond dan Ferry soal UMKM yang hanya menjadi solusi “murahan” untuk menambal kekosongan sektor formal. Bukan solusi berkelanjutan.
Realitas Pahit: Warung Tak Berkembang Selama 8 Tahun
Raymond membagikan pengalamannya melihat sebuah warung langganan di dekat kampus Binus yang tak berubah selama 8 tahun.
“Orangnya sama, menunya sama, gak ada perubahan. Itu artinya gak ada pertumbuhan. Gak naik kelas. Skill-nya tetap di situ aja,” ujarnya.
Bagi Raymond, ini adalah simbol dari kegagalan sistemik: negara belum mampu menyediakan jenjang bagi masyarakat dari low skill ke high skill labor. Padahal, di era ekonomi global, peningkatan kapasitas SDM adalah hal paling krusial.
Industrialisasi dan R&D: Solusi yang Selalu Diabaikan
Ketiganya sepakat bahwa Indonesia butuh revolusi industri dalam arti yang sebenarnya. Bukan cuma bangga jadi negara “UMKM”, tapi membangun manufaktur, hilirisasi, dan riset produk.
Ferry menyinggung bahwa Indonesia bahkan belum masuk era manufaktur, padahal negara lain sudah lewat.
“Kita baru mau masuk, negara lain udah keluar dari fase itu. Sedih banget,” katanya.
Raymond mengkritik anggaran R&D Indonesia yang minim. “BRIN cuma dikasih Rp6 triliun. Dibanding negara lain, kecil banget. Padahal tanpa riset, kita gak punya produk, gak punya value.”
- 5 Fakta di Balik Debut Fenomenal Saham CDIA Milik Prajogo Pangestu
- ADRO Lagi Sakit Jangka Pendek, Tapi Punya Obat Jangka Panjang
- Usai Info Batal dari Contact Center, BEI Pastikan IPO PMUI Jalan Terus
Kesimpulan: UMKM Harus Diberdayakan, Bukan Diglorifikasi
Dari diskusi ini, satu kesimpulan mengemuka: UMKM bukan musuh, tapi jangan dijadikan ilusi. UMKM penting, tapi bukan karena mereka banyak, melainkan karena mereka punya potensi untuk berkembang—jika dibina dengan benar.
Yang harus dibanggakan adalah UMKM yang naik kelas, bukan yang stagnan karena keterpaksaan. Narasi lama perlu diganti. Sudah saatnya pemerintah berhenti berlindung di balik statistik dan mulai membangun fondasi ekonomi formal yang sehat: dari industrialisasi, hilirisasi, hingga pendidikan dan pelatihan tenaga kerja.