
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Tengah Keprihatinan
- Demo pengemudi ojol mewarnai peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Sebagai bagian dari pekerja sektor informal yang mendominasi lapangan pekerjaan nasional, pemerintah harus serius menangani tuntutan mereka. Untuk menciptakan lapangan kerja, sesungguhnya tak sulit: Berantas korupsi!
Kolom & Foto
Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei tahun ini terasa hambar. Tak ada prosesi upacara yang penuh gebyar maupun pameran pencapaian anak bangsa. Di ibu kota keramaian pada hari bersejarah itu justru muncul di jalanan. Sekitar 25.000 pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai daerah berkerumun di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Istana Merdeka, Kantor-kantor Aplikasi, dan semua lokasi yang berhubungan dengan perusahaan aplikasi.
Bertajuk “Aksi Akbar 205” demo ini bertujuan menyampaikan penolakan para pengemudi terhadap berbagai kebijakan dari aplikator yang dinilai merugikan mereka. Para mitra pengemudi --roda dua maupun roda empat- yang mengikuti unjuk rasa menghentikan layanan atau off bid melalui aplikasi secara massal sejak pukul 13.00 WIB sebagai bentuk protes.
Selain berlangsung di berbagai kota besar, sejumlah perwakilan pengemudi dari Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Palembang dan Lampung bergabung dengan koleganya di Jakarta.
Aksi ini dilakukan dengan beberapa tuntutan. Pertama, meminta Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menjatuhkan sanksi tegas kepada perusahaan aplikasi yang melanggar regulasi, yaitu Permenhub PM Nomor 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022.
Kedua, mendesak Komisi V DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan yang melibatkan Kemenhub, asosiasi pengemudi, dan pihak aplikator. Ketiga, menuntut agar potongan aplikasi maksimal hanya sebesar 10 persen.
Keempat, meminta adanya revisi terhadap tarif penumpang dan penghapusan program-program seperti aceng (argo goceng/Rp5.000), slot (pembatasan wilayah operasional), hemat, dan prioritas yang merugikan pengemudi. Kelima, menuntut agar tarif layanan makanan dan pengiriman barang ditetapkan secara adil dengan melibatkan asosiasi pengemudi, regulator, aplikator, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Banyak Sarjana Menjadi Pengemudi Ojol
Pemerintah tentu tak boleh memandang para pengemudi ojol dengan sebelah mata. Mereka adalah sebagian dari 86,56 juta orang bekerja di sektor informal menurut data Badan Pusat Statistik pada Februari 2025. Total penduduk yang bekerja mencapai 145,77 juta orang. Dua tahun silam BPS melansir pekerja yang terserap di lapangan kerja formal mencapai 40,89 persen.
Selebihnya mencari nafkah di sektor informal. Nah, data terbaru BPS menunjukkan pekerja di sektor informal tahun ini meningkat tipis menjadi 59,40 persen dari tahun 2024. Sebagai catatan, pekerjaan informal mencakup pengemudi ojek online, pedagang kaki lima, pegawai toko, ART, afilator toko online, dan kurir online. Ada pun jumlah penduduk yang tidak terserap di pasar tenaga kerja alias menganggur mencapai 7,28 juta orang. Singkat kata, banyak di antara pengemudi ojol menolak untuk menyandang status pengangguran.
Sempitnya lapangan kerja formal juga mengakibatkan banyak orang bertitel sarjana tak terserap. Tak heran jika belakangan ini viral di media sosial sebuah konten yang menunjukkan seorang pengguna jasa ojol mengaku dalam waktu satu bulan lima kali dilayani oleh pengemudi berstatus lulusan S2. Konten itu bahkan lebih menyesakkan ketimbang tayangan video yang mengisahkan seorang sarjana dari sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka yang mencari nafkah sebagai pengemudi ojol.
Menurut data BPS, sepanjang satu dekade terakhir jumlah sarjana yang menganggur menunjukkan tren meningkat. Jika pada 2014 tercatat ada 495.143 penganggur dari kategori lulusan universitas, enam tahun kemudian angkanya melonjak menjadi 981.203. Angka ini akhirnya mencapai sedikit penurunan menjadi 842.378 orang pada 2024.
Betul, buruknya angka penyerapan sarjana tak bisa dilepaskan dari pandemi Covid-19 yang sepanjang 2020-2022 menyebabkan dunia kerja lumpuh. Meski pasca-pandemi angka ini mulai menurun, angkanya tidak cukup signifikan untuk menghapus bayang-bayang ancaman pengangguran sarjana. Pengangguran di kalangan sarjana memang tak sebanyak mereka yang menyandang ijazah SMA. Tapi lulusan SMA lebih lincah memasuki lapangan lerja sektor informal yang tidak mengutamakan kualifikasi tinggi.
Apa boleh buat, guna menurunkan angka pengangguran sarjana, pendekatan pendidikan tinggi di Indonesia harus berubah. Bukan apa-apa dalam satu dekade terakhir pemerintah kurang tanggap dengan sektor manufaktur yang menyerap banyak lapangan kerja. Pemerintah justru lebih fokus ke bidang jasa, seperti pendidikan, perbankan, asuransi dan transportasi.
Dus, pemerintah juga gencar mendorong hilirisasi pertambangan yang lebih ampuh dalam mempercantik nilai raport perekonomian nasional. Ini tampak dari pertumbuhan ekonomi di daerah kaya nikel, seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Tercatat pada tahun lalu Maluku Utara mencapai 13,73 persen, dan Sulawesi Tengah 9,89 persen. Toh pencapaian itu tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan.
Tak aneh jika angka yang tercatat di Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan pada rentang 2009-2014 lapangan kerja di sektor formal menyerap 15,6 juta orang. Di periode lima tahun berikutnya jumlah itu anjlok menjadi 8,5 juta orang. Dan di periode 2019-2024 menurun drastis menjadi 2 juta orang saja.
Dari data itu pemerintah harus mengarahkan perguruan tinggi lebih fokus pada pengembangan keterampilan praktis dan membuka kerja sama dengan dunia industri. Tak kalah penting, pemerintah juga perlu membangun ekosistem kewirausahaan di kalangan mahasiswa, agar mereka tidak hanya bergantung pada pekerjaan formal.
Akar Pengangguran dan Premanisme: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati
Banyaknya orang yang mencari nafkah sebagai pengemudi ojol juga tak lepas dari korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus bertambah. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hingga 23 April 2025, jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia telah mencapai 24.036 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang 2024, tercatat total 77.965 kasus PHK, naik dari 64.855 kasus pada 2023.
Korban paling banyak datang dari sektor industri pengolahan (manufaktur) yang semestinya paling unggul dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor ini, menyumbang kasus PHK terbesar dengan 16.801 kasus. Diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran (3.622 kasus), jasa lainnya (2.012 kasus), transportasi dan pergudangan (1.670 kasus), serta konstruksi (1.135 kasus).
Nah, mumpung saat ini investor asing masih menaruh kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia, mau tak mau pemerintah harus bersikap tegas terhadap semua kemungkinan yang dapat menghambat pembukaan lapangan kerja. Jangan biarkan aksi premanisme seperti yang terjadi di pabrik mobil BYD dan VinFast di Subang mengagalkan peluang lapangan kerja bagi sekitar 20.000 orang.
Terakhir, satu hal yang harus diingat, akar permasalahan premanisme dan tentu saja pengangguran tak lepas dari korupsi yang semakin hari jumlahnya semakin tinggi. Jika di awal dekade 2000 angka 1 triliun saja sudah bikin orang geleng-geleng kepala, sekarang angkanya sudah mendekati 1 kuadriliun. Sungguh terlalu.
Coba hitung berapa lapangan kerja yang dapat tercipta dari nilai korupsi sebesar itu. Kalau BYD dengan investasi Rp16,8 triliun bisa menyerap 18.000 lapangan kerja, maka sedikitnya nilai korupsi pengadaan BBM di Pertamina dapat menciptakan 1 juta lapangan kerja.
Tak ada waktu lagi bagi pemerintah bermain-main dengan kasus korupsi. Rakyat sudah muak dengan vonis ringan bagi koruptor. Berapa pun nilai korupsi, pengadilan harus memberi hukuman maksimal, biar efek jera terwujud.