
Perempuan Rentan Jadi Korban ‘Digital Blues’ dan Kekerasan Sistemik di Era Digital
- Tantangan terbesar bukan hanya pada persoalan teknis penggunaan perangkat digital, melainkan pada jebakan emosional dan psikologis yang dialami pengguna, terutama perempuan. Untuk menggambarkan fenomena ini, Sasti sebagai perwakilan ICT Watch memperkenalkan istilah baru: Digital Blues.
Tren Leisure
JAKARTA - Di era digital yang berkembang pesat, literasi digital menjadi salah satu fondasi utama dalam memastikan masyarakat mampu beradaptasi dan terlindungi dari jebakan teknologi yang manipulatif. Namun, kelompok perempuan, terutama dari kalangan ibu rumah tangga, lansia, dan remaja perempuan, kerap menjadi pihak yang paling terdampak negatif.
Hal ini disampaikan oleh Ida Ayu Prasasti, Direktur Program Indonesia Information and Communication Technology Partnership Association (ICT Watch), dalam sebuah diskusi diskusi bertajuk Melindungi Konsumen dari Bahaya Dark Pattern di Keuangan Digital sebagai bagian dari rangkaian acara Digiweek 2025: Shared Responsibilities: Redefining Stakeholder Roles in the Digital Age yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) di Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025.
Mengawali pemaparannya, Ida Ayu Prasasti—akrab disapa Sasti—menekankan bahwa ICT Watch, sebagai lembaga yang telah 23 tahun berkiprah dalam advokasi internet sehat di Indonesia, memiliki fokus khusus pada literasi digital sebagai bagian dari tanggung jawab bersama dalam membangun ruang digital yang aman dan adil.
“ICT Watch bagian dari ‘kue’ tanggung jawab bersama adalah soal literasi. Terutama bagaimana memastikan para pengguna memahami dan cakap dalam menggunakan teknologi digital,” kata Sasti.
Namun, menurutnya, tantangan terbesar bukan hanya pada persoalan teknis penggunaan perangkat digital, melainkan pada jebakan emosional dan psikologis yang dialami pengguna, terutama perempuan. Untuk menggambarkan fenomena ini, Sasti memperkenalkan istilah baru: Digital Blues.
- Solusi Perumahan Gen Z! Ini Cara Pengajuan KPR BRI
- Lee Dong-wook Angkat Bicara Soal Pilpres Korea, Ini Sarannya
- Cara Cek Pencairan Gaji 13 Pensiunan PNS
Digital Blues: Ketika Harapan Berganti Jadi Kecemasan
Sasti menganalogikan Digital Blues dengan fenomena Baby Blues, kondisi emosional yang kerap dialami orang tua baru setelah kelahiran anak. “Awalnya bahagia, karena anak lahir. Tapi kemudian kaget karena tidak siap secara emosional. Begitu juga dengan teknologi digital. Awalnya terlihat menjanjikan, tapi bisa menimbulkan kecemasan dan stres,” jelasnya.
Menurut Sasti, Digital Blues kerap dialami oleh perempuan, terutama ibu-ibu di pedesaan atau kalangan lansia yang baru mengenal dunia digital. Perkenalan mereka dengan platform digital seringkali bukan hanya membawa kebahagiaan, tapi juga tekanan emosional akibat kompleksitas antarmuka, manipulasi tombol, hingga skema transaksi yang membingungkan.
“Misalnya, ibu-ibu yang baru belajar belanja online, awalnya merasa senang. Tapi kemudian, karena ada tombol batal yang tidak jelas, biaya tambahan yang tidak terduga, atau proses pengembalian barang yang rumit, mereka jadi takut belanja lagi. Itu yang kami sebut sebagai Digital Blues,” kata Sasti.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini tidak hanya berdampak pada pengalaman individu, tetapi juga berpotensi menghambat inklusi keuangan digital secara menyeluruh.
“Ketika mereka merasa jadi korban, mereka takut menggunakan teknologi lagi. Takut belanja online, takut pakai aplikasi keuangan, bahkan takut daftar asuransi digital,” ujarnya.
- Baca Juga: Lewat Program dari DANA, UMKM Perempuan dan Disabilitas Bisa Raih Pendanaan hingga Rp750 Juta!
Ketimpangan Gender dalam Literasi Digital
Sasti menyoroti kesenjangan gender dalam literasi digital yang masih cukup signifikan di Indonesia. Merujuk pada hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ia menyebut bahwa perempuan tertinggal dalam aspek literasi keuangan digital, meskipun tingkat kepemilikan akses mungkin terlihat setara.
“Pegang uang satu hal, bisa akses digital satu hal, tapi mampu mengelola teknologi digital untuk kebutuhan finansial dan keluarga adalah hal lain,” tegasnya.
Menurutnya, ada beban emosional tambahan yang ditanggung oleh perempuan saat menggunakan teknologi. Dalam banyak kasus, perempuan merasa bersalah jika terjadi kesalahan finansial di keluarga, terlebih jika kesalahan itu muncul dari interaksi mereka dengan aplikasi digital.
“Bayangkan kalau ibu-ibu jadi pengguna utama gadget di rumah. Lalu muncul iklan yang memanipulasi rasa aman keluarga. Kalau tombol cancel susah ditemukan, muncul perasaan bersalah. Seolah kalau gak lanjut beli, maka keluarga terancam. Ini bentuk kekerasan digital sistemik,” ungkapnya.
Sasti menilai bahwa bentuk kekerasan ini seringkali tidak disadari, karena terjadi dalam relasi kuasa yang tidak tampak. Menurutnya, penting bagi negara dan pelaku industri untuk mengakui bahwa manipulasi emosional semacam ini berisiko memperlemah kepercayaan publik, terutama dari kelompok rentan seperti perempuan.
Perempuan Rentan Menjadi Korban Kekerasan Digital Sistemik
Lebih jauh, Sasti menyatakan bahwa kekerasan digital sistemik terjadi ketika perusahaan atau platform digital menggunakan celah psikologis untuk mendorong transaksi atau interaksi tertentu yang merugikan pengguna.
Ia memberi contoh kasus ibunya sendiri, yang hampir tertipu karena penawaran produk yang muncul berkali-kali dan harga yang tiba-tiba berubah. “Ibu saya sampai berpikir, ‘Mungkin saya harus beli sekarang karena ini menyangkut keluarga saya’. Padahal tidak harus begitu. Tapi itu efek psikologis yang dimanfaatkan platform,” katanya.
Menurut Sasti, perusahaan digital harus bertanggung jawab terhadap cara desain antarmuka mereka memengaruhi keputusan konsumen. “Ada loh sisi protektif perempuan yang justru dimanipulasi. Ini sistemik, dan negara seharusnya hadir untuk melindungi,” ujarnya.
Data YLKI: Perempuan Lebih Banyak Jadi Korban
Dalam sesi diskusi lanjutan, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, membenarkan bahwa perempuan termasuk kelompok yang paling rentan menjadi korban pelanggaran konsumen, terutama di ruang digital.
“Dalam laporan pengaduan kami, perempuan rumah tangga adalah kelompok yang paling sering melapor. Mereka menjadi sasaran berbagai praktik tidak etis, termasuk penagihan pinjaman online dengan kekerasan seksual atau penyebaran data pribadi,” kata Rio.
YLKI sendiri mendorong agar ada perlakuan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. “Kami mendukung Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang memberi hak tambahan bagi konsumen rentan. Termasuk usulan agar penagih utang terhadap perempuan juga perempuan, untuk meminimalisir kekerasan seksual,” tegasnya.
YLKI juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap aspek kesehatan dalam produk digital. “Konsumen mungkin tidak langsung merasakan dampaknya, seperti dalam isu gula, garam, dan lemak. Tapi efek jangka panjangnya bisa sangat serius. Oleh karena itu, literasi digital yang juga menyentuh isu kesehatan sangat penting,” tambah Rio.
- Daftar 9 Drakor Terbaru Tayang Juni 2025, Ada Squid Game 3
- MINE Kantongi Dua Kontrak Baru dari Anak Usaha MBMA
- Pemerintah Harus Serius Atasi Masifnya Gelombang PHK di Sektor Padat Karya
Perlindungan Digital Harus Sistemik
Baik ICT Watch maupun YLKI sepakat bahwa tantangan perlindungan konsumen di era digital tidak bisa diatasi secara sektoral. Harus ada kebijakan sistemik yang memastikan bahwa desain teknologi, perlindungan data, dan literasi pengguna dibangun secara inklusif dan etis.
“Shared responsibility itu bukan cuma jargon. Negara, perusahaan, masyarakat sipil, semuanya harus ambil bagian. Terutama dalam menjamin tidak ada lagi perempuan yang takut masuk ke dunia digital hanya karena pernah merasa tertipu, dimanipulasi, atau tidak paham,” tutup Sasti.
Diskusi ini memperlihatkan bahwa di balik gemerlap teknologi digital, ada sisi gelap yang harus disorot dan ditangani secara serius—terutama untuk memastikan kelompok perempuan tidak hanya menjadi pengguna pasif, tapi juga aktor yang berdaya dan terlindungi.