ChatGPT Image 10 Jun 2025, 10.16.45 (1).png
Tren Inspirasi

Perbandingan Sumber Kekayaan Miliarder: Indonesia dari Tambang, Amerika dari Teknologi

  • Sebanyak 14 dari 32 miliarder Indonesia memperoleh kekayaannya setidaknya sebagian dari industri kelapa sawit, menegaskan dominasi sektor ini dalam mencetak jutawan baru.

Tren Inspirasi

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Sebagian besar miliarder di Indonesia mengembangkan kekayaannya melalui industri ekstraktif yang memanfaatkan kekayaan alam, sedangkan di Amerika Serikat (AS) banyak miliarder yang lahir dari pengembangan teknologi. 

Berdasarkan daftar Real-Time Billionaires Forbes per Februari 2025, tiga besar orang terkaya di Tanah Air adalah Prajogo Pangestu, Low Tuck Kwong, dan Budi Hartono—semua bersumber dari petrokimia, batu bara, dan tembakau/palm oil. 

Selain itu, sebanyak 14 dari 32 miliarder Indonesia memperoleh kekayaannya setidaknya sebagian dari industri kelapa sawit, menegaskan dominasi sektor ini dalam mencetak jutawan baru.

  1. Prajogo Pangestu membangun Barito Pacific Group yang bergerak di petrokimia, minyak & gas, serta pertambangan (emas, batubara, hingga geothermal), dengan kekayaan bersih mencapai US$32,9 miliar (sekitar Rp536 triliun dengan asumsi kurs Rp16.282 perdolar AS).
  2. Low Tuck Kwong melalui PT Bayan Resources menguasai 7% produksi batubara nasional, menjadikannya orang terkaya kedua di Indonesia dengan US$26,9 miliar (sekitar Rp438 triliun).
  3. Budi Hartono dan saudara Michael Hartono, pewaris Grup Djarum, memperkaya diri dari kretek serta diversifikasi ke perbankan dan palm oil, dengan nilai bersih masing-masing US$22,3 miliar (sekitar Rp363 triliun) dan US$25,1 miliar (sekitar Rp409 triliun).

Revolusi Teknologi dan Miliarder Muda di Amerika Serikat

Berbeda dengan Indonesia, lanskap kekayaan di Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh industri teknologi, yang dipelopori oleh inovator muda. 

  1. Bill Gates mendirikan Microsoft pada usia 20 tahun (1975). Saat ini Microsoft bernilai lebih dari US$2,3 triliun (sekitar Rp37.449 kuadriliun), dan Bill Gates memiliki kekayaan sekitar US$117 miliar (sekitar Rp1.905 kuadriliun).
  2. Larry Page dan Sergey Brin mendirikan Google pada usia 25 tahun (1998). Alphabet (induk Google) kini bernilai sekitar US$1,8 triliun (sekitar Rp29.308 kuadriliun), dengan kekayaan Page dan Brin masing-masing sekitar US$107 miliar (Rp1.742 kuadriliun) dan US$105 miliar (Rp1.710 kuadriliun).
  3. Chad Hurley (26 tahun) dan Steve Chen (27 tahun) mendirikan YouTube pada 2005; dijual ke Google pada 2006 seharga US$1,65 miliar (sekitar Rp26,9 triliun). Saat ini Chad Hurley memiliki kekayaan sekitar US$0,2 miliar (sekitar Rp3,3 triliun) dan Steve Chen sekitar US$0,24 miliar (sekitar Rp3,9 triliun).
  4. Alexandr Wang, lulusan MIT yang mendirikan Scale AI pada usia 19, memiliki kekayaan sekitar US$3,6 miliar (sekitar Rp58,6 triliun) pada usia 28 tahun.
  5. Austin Russell, penerima Thiel Fellowship, menjadi miliarder termuda dunia pada usia 25 berkat Luminar—startup teknologi lidar untuk mobil otonom—dengan nilai saham senilai US$2,4 miliar (sekitar Rp39,1 triliun) setelah IPO pada Desember 2020.

Selain itu, generasi Z inovator lainnya seperti Lucy Guo (co-founder Scale AI, kekayaan US$1,3 miliar — sekitar Rp21,2 triliun pada usia 30) dan Chris Wanstrath (GitHub, US$2,2 miliar — sekitar Rp35,8 triliun pada usia 35) menunjukkan bahwa usia muda bukanlah halangan untuk mencapai puncak finansial melalui teknologi dan kewirausahaan.

Perbandingan Demografis dan Sumber Daya

AspekIndonesia (Ekstraktif)Amerika Serikat (Teknologi)
Usia rata-rata miliarder70+ tahun25–35 tahun
Sumber kekayaanBatu bara, minyak, gas, palm oil, pertambanganPerangkat lunak, AI, otomotif otonom, platform digital
Modal awalKonsesi lahan dan sumber daya alamDana VC, fellowship (Thiel), kompetisi teknologi
Dampak lingkunganDeforestasi, emisi, konflik sosialJejak karbon rendah, isu data & etika AI
Akses pendidikanJaringan bisnis keluarga, sekolah negeriUniversitas riset (MIT, Stanford), komunitas startup

Data ini menunjukkan bahwa kekayaan di Indonesia cenderung “tertutup” pada figur lama dengan akses konsesi, sedangkan di AS lebih “terbuka” bagi inovator muda dengan latar pendidikan dan pendanaan berbasis ide.

Perbandingan Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa kekayaan berbasis pengetahuan dan inovasi bukan sekadar tren, melainkan masa depan yang memberi peluang inklusif bagi generasi muda. 

Alih-alih terpaku pada sumber daya alam, memfokuskan diri pada pengembangan ilmu pengetahuan, kewirausahaan teknologi, dan keberlanjutan lingkungan akan memperkuat pondasi finansial jangka panjang dan menjadikan Indonesia sebagai pusat inovasi global yang baru.