
Perang Tarif Trump : Borong 50 Pesawat Bisa Jadi Bom Waktu bagi Garuda
- Garuda masih mencatat ekuitas negatif dengan arus kas terbatas dan ketergantungan tinggi pada harga avtur, kurs, dan load factor, sehingga ekspansi armada besar berpotensi menambah tekanan finansial.
Tren Global
Perang Tarif Trump : Borong 50 Pesawat Bisa Jadi Bom Waktu bagi GarudaJAKARTA - Pemerintah berkomitmen mengimpor puluhan unit pesawat buatan Boeing dari Amerika Serikat sebagai bagian dari kesepakatan penurunan tarif resiprokal perdagangan antara kedua negara. Nilai transaksi pembelian diperkirakan mencapai antara Rp96 triliun hingga Rp120 triliun, tergantung pada jenis dan jumlah pesawat yang akan dibeli.
Langkah impor tersebut menjadi bagian dari timbal balik atas penurunan tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari sebelumnya 32% menjadi 19%. Pemerintah disebut akan membeli 50 unit pesawat, terutama dari dua tipe unggulan Boeing, yaitu 737 MAX dan 787 Dreamliner. Pengadaan ini dipandang strategis, namun juga menimbulkan perdebatan terkait urgensi dan dampaknya terhadap fiskal negara.
Rincian Harga Pesawat Boeing
Harga pesawat Boeing bervariasi tergantung pada tipe dan spesifikasinya. Untuk Boeing 737 MAX series, estimasi harga berdasarkan daftar global (list price) untuk pesawat 737 MAX 7 seharga sekitar US$99,7 juta atau setara Rp1,63 triliun, 737 MAX 8 sekitar US$121,6 juta atau Rp1,98 triliun, 737 MAX 9 sekitar US$128,9 juta atau Rp2,10 triliun, dan 737 MAX 10 mencapai US$134,9 juta atau Rp2,20 triliun.
Sementara itu, untuk Boeing 787 Dreamliner series yang digunakan untuk penerbangan jarak jauh. Untuk series pesawat 787-8 dibanderol dengan hargadi US$248 juta atau Rp4,04 triliun, 787-9 sebesar US$292,5 juta atau Rp4,77 triliun, dan 787-10 sekitar US$338,4 juta atau Rp5,51 triliun. Harga-harga tersebut merupakan harga daftar dan dalam praktiknya bisa turun signifikan akibat diskon untuk pembelian massal.
Jika Indonesia memutuskan membeli 50 unit pesawat dari satu tipe, total belanja yang dibutuhkan bisa mencapai US$4,99 miliar atau sekitar Rp81,8 triliun untuk 50 unit 737 MAX 7, hingga US$16,92 miliar atau Rp277 triliun untuk 50 unit 787-10.
- 8 Emiten Resmi Ditendang BEI, Gimana Nasib Investor yang Nyangkut?
- Desakan Cabut PP 28/2024 Kian Menguat
"Maka pembelian 50 unit pesawat akan membutuhkan komitmen belanja sekitar US$ 6 miliar – US$ 7,5 miliar atau setara Rp 96 triliun hingga Rp 120 triliun," jelas Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, dikutip Senin, 21 Juli, 2025.
Dalam skenario pembelian campuran, misalnya 25 unit Boeing 737 MAX 8 (harga US$121,6 juta per unit) dan 25 unit Boeing 787-9 (US$292,5 juta per unit), total biaya diperkirakan mencapai US$10,35 miliar atau setara sekitar Rp170 triliun.
Tekanan terhadap APBN
Jika rencana pembelian ini direalisasikan, nilai pembelian 50 pesawat tersebut setara dengan tiga kali lipat belanja modal Kementerian Perhubungan tahun 2025. Selain itu, anggaran tersebut mencakup hampir 20% dari total APBN untuk sektor infrastruktur transportasi nasional. Besarnya nilai investasi menimbulkan kekhawatiran terhadap efektivitas alokasi anggaran negara, terlebih jika pembelian dibiayai melalui pinjaman.
Garuda Indonesia diperkirakan menjadi pihak yang akan merealisasikan pembelian armada ini. Namun, kondisi keuangan perusahaan pelat merah ini masih jauh dari stabil.
Saat ini, Garuda masih mengalami ekuitas negatif, memiliki arus kas yang terbatas, dan sangat tergantung pada faktor eksternal seperti harga avtur, fluktuasi nilai tukar, serta tingkat keterisian kursi (load factor). Dalam situasi keuangan yang belum sepenuhnya pulih, rencana ekspansi armada berskala besar dinilai rawan menimbulkan tekanan keuangan tambahan.
"Utang baru untuk membeli armada ini berpotensi membawa Garuda masuk ke lingkaran setan leverage tinggi, beban bunga besar, dan risiko gagal bayar yang sama seperti sebelum krisis 2020," tambah Ahmad.
- 8 Emiten Resmi Ditendang BEI, Gimana Nasib Investor yang Nyangkut?
- Desakan Cabut PP 28/2024 Kian Menguat
Dalam lima tahun ke depan, Garuda menargetkan pengoperasian 120 unit pesawat dan pembukaan 100 rute penerbangan, baik domestik maupun internasional.
Ahmad menyarankan agar pemerintah dan manajemen Garuda lebih memprioritaskan optimalisasi pemanfaatan armada yang ada, memperbaiki tata kelola operasional, serta menata ulang jaringan rute untuk meningkatkan profitabilitas.
Selain itu, penguatan kerja sama dengan maskapai mitra melalui mekanisme codeshare dan route sharing dinilai penting. Tidak kalah penting, pengembangan lini bisnis kargo dan maskapai bertarif rendah (LCC) harus menjadi fokus restrukturisasi untuk menekan biaya dan memperluas segmen pasar.
Pembelian pesawat dalam jumlah besar tanpa landasan keuangan yang kuat dikhawatirkan justru membuka risiko krisis baru di masa mendatang, seperti yang pernah dialami industri penerbangan Indonesia pada awal dekade 2020-an.