
Perang Dagang AS - China: Kerugian Amerika dari Kenaikan Tarif Impor
- Jika Trump kembali memberlakukan tarif agresif seperti sebelumnya, yang paling terdampak adalah rakyatnya sendiri. Harga produk konsumen akan melonjak, perusahaan harus memangkas biaya atau melakukan efisiensi, termasuk kemungkinan PHK, dan inflasi bisa kembali membayangi.
Nasional
JAKARTA - Meski Donald Trump kembali mengobarkan perang dagang terhadap China dengan kebijakan tarif balasan yang tinggi, realitas di lapangan menunjukkan sesuatu yang tak bisa disangkal: rakyat Amerika sangat bergantung pada komoditas asal China.
Di tengah semangat “America First” yang digaungkan Trump, data perdagangan justru memperlihatkan betapa dalamnya ketergantungan Negeri Paman Sam terhadap produk-produk buatan Negeri Tirai Bambu.
Pada tahun 2023, nilai ekspor China ke Amerika Serikat (AS) mencapai US$501,22 miliar (sekitar Rp8.423 triliun kurs Rp16.800). Barang-barang yang masuk ke AS bukanlah produk mewah atau sekunder, tapi justru kebutuhan primer rumah tangga dan industri.
Peralatan listrik dan elektronik menyumbang lebih dari US$124 miliar (sekitar Rp2.083 triliun), diikuti mesin industri dan reaktor senilai hampir US$89 miliar (sekitar Rp1.495 triliun).
Mainan anak, laptop, furnitur rumah, perlengkapan tidur, pakaian, sepatu, hingga peralatan medis dan fotografi, semuanya berasal dari China dan mengisi rak-rak toko di seluruh Amerika.
Tarif Tinggi Jadi Bumerang
Dengan struktur ekonomi yang sudah terintegrasi secara global, tarif tinggi terhadap barang-barang ini justru bisa menjadi bumerang bagi ekonomi AS sendiri.
Naiknya harga barang impor akan mengerek biaya produksi industri lokal dan harga barang konsumsi masyarakat. Hasil akhirnya bisa menciptakan lonjakan inflasi, menurunkan daya beli, dan menghantam kelompok berpendapatan rendah yang paling banyak mengonsumsi barang murah impor asal China.
Lebih jauh, produk-produk seperti baterai kendaraan listrik, peralatan telekomunikasi, dan komponen semikonduktor adalah bagian penting dari transisi energi dan digitalisasi ekonomi AS.
Ketergantungan terhadap China dalam rantai pasok ini membuat sektor-sektor strategis AS menjadi rentan jika terjadi pembalasan dagang.
Padahal, China sudah lebih dulu memperluas jangkauan pasarnya ke Asia, Eropa, dan Afrika, sementara AS justru semakin menarik diri dari perjanjian dagang multilateral.
Tarif Trump sebesar 104% terhadap produk China memang ditujukan untuk mengurangi defisit perdagangan, yang pada 2024 tercatat mencapai US$295 miliar (sekitar Rp4.956 triliun) dari total perdagangan barang senilai US$585 miliar (sekitar Rp9.828 triliun) berdasarkan data yang dilaporkan United Nations Comtrade.
Namun, besarnya defisit ini sebenarnya sudah menurun tajam sejak perang dagang pertama diluncurkan pada 2016, pangsa impor AS dari China turun dari 21% menjadi 13% di 2024.
Meski demikian, penurunan ini dibayar mahal oleh konsumen dan pelaku usaha di AS yang harus mencari alternatif impor lebih mahal atau menanggung harga bahan baku yang melonjak.
Trump Sebar Hoaks
Trump menyebut defisit dagang mencapai US$1 triliun (sekitar Rp16.800 triliun), namun klaim tersebut tak sesuai dengan data resmi yang menyatakan nilainya sekitar US$295 miliar (sekitar Rp4.956 triliun), atau hanya sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat.
Artinya, narasi bahwa defisit ini menjadi ancaman besar terhadap ekonomi nasional terkesan dibesar-besarkan untuk kepentingan politik elektoral, ketimbang pertimbangan ekonomi yang rasional.
Ironisnya, jika Trump kembali memberlakukan tarif agresif seperti sebelumnya, yang paling terdampak adalah rakyatnya sendiri. Harga produk konsumen akan melonjak, perusahaan harus memangkas biaya atau melakukan efisiensi, termasuk kemungkinan PHK, dan inflasi bisa kembali membayangi setelah sempat terkendali pasca-pandemi.
Di tengah retorika keras dan kebijakan proteksionis, AS justru menggantungkan banyak sektor penting pada ekspor China. Perang dagang mungkin memberikan ilusi proteksi ekonomi, tapi dalam kenyataannya, justru bisa merugikan konsumen, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan ketidakstabilan baru di dalam negeri.
Rincian Produk Ekspor China ke AS (2023)
Peralatan listrik dan elektronik: US$124,52 miliar (sekitar Rp2.091,94 triliun)
Mesin, reaktor, ketel: US$88,98 miliar (sekitar Rp1.495,86 triliun)
Furnitur, lampu, bangunan prefabrikasi: US$30,66 miliar (sekitar Rp515,09 triliun)
Mainan, permainan, perlengkapan olahraga: US$29,36 miliar (sekitar Rp493,25 triliun)
Plastik dan produk plastik: US$23,25 miliar (sekitar Rp390,6 triliun)
Pakaian rajut/rajutan: US$18,90 miliar (sekitar Rp317,52 triliun)
Barang tidak diklasifikasikan: US$18,83 miliar (sekitar Rp316,34 triliun)
Produk kendaraan (bukan kereta/trem): US$18,26 miliar (sekitar Rp306,77 triliun)
Produk dari besi dan baja: US$13,20 miliar (sekitar Rp221,76 triliun)
Pakaian non-rajut: US$12,91 miliar (sekitar Rp216,89 triliun)
Alat optik, medis, teknis, fotografi: US$11,92 miliar (sekitar Rp200,26 triliun)
Produk tekstil lainnya: US$10,14 miliar (sekitar Rp170,35 triliun)
Alas kaki: US$9,47 miliar (sekitar Rp159,10 triliun)
Bahan kimia organik: US$7,43 miliar (sekitar Rp124,82 triliun)
Barang dari kulit dan sejenisnya: US$6,61 miliar (sekitar Rp111,05 triliun)
Artikel manufaktur lainnya: US$5,53 miliar (sekitar Rp92,9 triliun)
Alat dari logam dasar: US$4,62 miliar (sekitar Rp77,62 triliun)
Artikel logam dasar lainnya: US$4,60 miliar (sekitar Rp77,28 triliun)
Produk bulu burung, bunga buatan, rambut manusia: US$4,41 miliar (sekitar Rp74,09 triliun)
Barang kaca: US$4,07 miliar (sekitar Rp68,38 triliun)
Aluminium: US$3,80 miliar (sekitar Rp63,84 triliun)
Kertas dan karton: US$3,79 miliar (sekitar Rp63,67 triliun)
Produk keramik: US$2,96 miliar (sekitar Rp49,73 triliun)
Produk kayu dan turunannya: US$2,93 miliar (sekitar Rp49,22 triliun)
Produk karet: US$2,86 miliar (sekitar Rp48,05 triliun)
Batu/logam mulia: US$2,80 miliar (sekitar Rp47,04 triliun)
Produk tembakau: US$2,35 miliar (sekitar Rp39,48 triliun)
Produk kimia lainnya: US$2,22 miliar (sekitar Rp37,30 triliun)
Produk farmasi: US$2,20 miliar (sekitar Rp36,96 triliun)
Bahan kimia anorganik, isotop: US$1,43 miliar (sekitar Rp24,02 triliun)