
Pendidikan di Persimpangan: Ketika AI Ambil Alih Proses Belajar
- Di balik kecanggihannya, kehadiran AI disebut merusak semangat belajar dan etika akademik. Simak kritik tajam dari para ilmuwan dunia.
Tren Global
JAKARTA--ChatGPT sering disebut sebagai salah satu terobosan terbesar di bidang kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh OpenAI. Teknologi ini mampu menghasilkan teks berkualitas tinggi hanya dari kata kunci dan tema tertentu, hingga menyerupai tulisan manusia. Namun, di balik kecanggihannya, muncul juga kekhawatiran dari para pakar.
Salah satu suara kritis datang dari Noam Chomsky, ahli linguistik ternama asal Amerika Serikat. Ia menilai kehadiran ChatGPT bisa merusak dunia pendidikan karena memicu kecenderungan siswa untuk mengambil jalan pintas. "ChatGPT pada dasarnya adalah bentuk plagiarisme berteknologi tinggi," ujarnya dikutip dari mymodernmet, Kamis, 24 Juli 2025.
Menurutnya, teknologi seperti ini berlawanan dengan semangat pendidikan yang seharusnya mendorong rasa ingin tahu dan motivasi belajar. Chomsky menekankan masalah bukan semata pada teknologinya, tapi juga pada bagaimana pendidikan dijalankan.
Lebih Pilih AI Ketimbang Belajar, Alarm Bahaya?
Ia menyebut jika siswa lebih memilih mengandalkan AI ketimbang belajar, itu pertanda sistem pendidikan telah gagal membangun ketertarikan belajar. “Kuncinya terletak pada bagaimana siswa ini diajar, bukan berusaha menghindari pekerjaan,” ucapnya.
Di sisi lain, Chomsky juga mendorong otokritik terhadap para pengajar dan model pembelajarannya. Lingkungan belajar yang membosankan pun bisa mendorong siswa menghindari proses pendidikan, dan ChatGPT jadi alat pelariannya. “Kebosanan bisa berubah menjadi penghindaran, dan ChatGPT menjadi cara mudah untuk itu. Pendidik perlu memiliki cara untuk memotivasi siswa belajar.”
Selain Chomsky, Geoffrey Hinton, ilmuwan yang dikenal sebagai “Bapak AI”, juga mengungkapkan kekhawatiran serupa. Dalam wawancara dengan CBS Saturday Morning, Hinton mengaku terkejut dengan laju perkembangan AI yang begitu cepat.
Ia memperingatkan sistem AI di masa depan bisa menjadi lebih cerdas dari manusia dan berpotensi mengambil alih kendali. Hinton menyebut kemungkinan munculnya general artificial intelligence, AI yang mampu berpikir dan belajar seperti manusia, dapat terjadi dalam 10 tahun atau bahkan lebih cepat.
“Jika kita mempertimbangkan kemungkinan AI akan menjadi jauh lebih cerdas dari manusia dan kemudian mengambil alih kendali, maka peluang hal itu terjadi sangat mungkin—lebih dari 1% namun kurang dari 99%. Hampir semua ahli sepakat mengenai hal ini,” ujarnya.
Baca Juga: Dampak Tersembunyi AI, Berpotensi Jadi Bencana Lingkungan
Karena kekhawatirannya, Hinton memilih mundur dari Google pada 2023 agar bisa menyuarakan pandangannya secara bebas. Ia sudah lama memperingatkan kecerdasan buatan yang tak terkendali dapat menjadi ancaman serius bagi umat manusia di masa depan.
“Kita bermain dengan AI yang kita sendiri belum pernah mengalami era atau kemajuan yang diciptakan oleh teknologi tersebut. Orang-orang belum paham hal ini dan tak mengerti ancaman apa yang akan hadir di masa depan dari pengembangan AI,” ucapnya.