licensed-image.jpg
Tren Global

Pendanaan Monarki: Membandingkan Skema Keuangan Kerajaan Inggris dan Keraton Jogja

  • Kerajaan Inggris dan Keraton Yogyakarta sama-sama menerima dukungan finansial negara, namun melalui mekanisme berbeda. Inggris melalui Sovereign Grant dari aset kerajaan, sementara Yogyakarta melalui Dana Keistimewaan dari APBN. Simak perbandingannya dari segi pendanaan, peran, dan transparansi.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA – Meski terpisah ribuan kilometer dan hidup dalam konteks sosial-politik yang berbeda, Kerajaan Inggris dan Keraton Yogyakarta sama-sama menjadi representasi monarki yang masih bertahan di era modern. Keduanya menerima bentuk dukungan keuangan dari negara, meski melalui mekanisme yang sangat berbeda.

Kerajaan Inggris menerima pendanaan utama melalui skema Sovereign Grant, yakni hibah tahunan yang dialokasikan pemerintah dari keuntungan properti kerajaan atau Crown Estate. Pada tahun 2025, jumlah Sovereign Grant mencapai £86,3 juta atau sekitar Rp1,93 triliun.

Pendanaan ini digunakan untuk operasional publik keluarga kerajaan, termasuk perjalanan resmi, gaji staf, hingga pemeliharaan istana. Tidak termasuk biaya keamanan, yang ditanggung secara terpisah oleh pemerintah. Rinciannya, £51,8 juta untuk kebutuhan tahunan dan £34,5 juta dialokasikan untuk renovasi Istana Buckingham proyek besar yang mencakup pembaruan sistem kelistrikan, perpipaan, hingga kamar mandi aksesibel.

Uniknya, meskipun menerima dana publik, Raja Inggris sejak 1760 telah menyerahkan seluruh keuntungan Crown Estate kepada pemerintah. Portofolio tersebut mencakup properti strategis seperti pusat kota London, arena pacuan kuda Ascot, hingga dasar laut di sekitar Inggris dan wilayah Persemakmuran lainnya.

Selain Sovereign Grant, keluarga kerajaan juga menerima pendapatan dari Kadipaten Lancaster, Kadipaten Cornwall, serta harta pribadi. Skema ini bersifat semi-publik, karena sebagian besar dana berasal dari aset kerajaan yang dikelola dan diserahkan kepada negara, lalu dikembalikan sebagian untuk mendanai institusi monarki.

Namun, tidak semua warga Inggris setuju dengan skema ini. Kelompok Republic menilai hibah tersebut "tidak masuk akal", terutama karena besarannya naik mengikuti keuntungan Crown Estate, bukan berdasarkan kebutuhan riil monarki.

"Sistem hibah itu gila. Pendanaan meningkat bukan karena ada kebutuhan uang tambahan, tetapi karena hibah tersebut terkait dengan keuntungan pemerintah dari tanah yang dikelola oleh Crown Estate," jelas seorang juru kampanye untuk kelompok Republic,  Graham Smith, dikutip Selasa, 1 Juli 2025.

Keraton Yogyakarta, Dana Keistimewaan untuk Budaya dan Pembangunan

Sementara itu, Keraton Yogyakarta, lembaga budaya dan simbolik dalam struktur pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak menerima dana operasional secara langsung seperti monarki Inggris. Sebagai gantinya, pemerintah pusat mengalokasikan Dana Keistimewaan (Danais) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Pada tahun 2023, Danais mencapai Rp1,42 triliun. Dana ini disalurkan melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung pelaksanaan kewenangan istimewa DIY, sesuai amanat Undang-Undang Keistimewaan. 

Penggunaan Danais mencakup pelestarian budaya lokal, pembangunan infrastruktur yang melibatkan tanah milik Keraton, pemberdayaan ekonomi desa, penguatan kelembagaan adat dan pemerintahan desa, serta program pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat luas. 

Meskipun tidak menerima dana ini secara langsung, Keraton Yogyakarta tetap berperan penting dalam pelaksanaan berbagai program, terutama yang menyangkut aspek budaya dan pemanfaatan tanah Sultan Ground.

Struktur Kelembagaan dan Transparansi

Kerajaan Inggris memiliki struktur pendanaan yang sangat terikat dengan negara. Laporan keuangan Sovereign Grant diterbitkan secara tahunan melalui situs resmi kerajaan dan menjadi objek pengawasan publik yang cukup ketat. Bahkan, sejak 1992, keluarga kerajaan juga membayar pajak penghasilan, sebagai bagian dari komitmen transparansi.

Hal serupa juga berlaku di Yogyakarta. Meski konteks dan model pendanaannya berbeda, Danais juga diawasi ketat oleh Inspektorat DIY, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan partisipasi masyarakat. Setiap program yang menggunakan Danais wajib menyusun laporan berisi output, outcome, dan dampak yang terukur, serta melalui mekanisme usulan dari Pemda DIY ke Kementerian Keuangan.

Meski berbeda dalam bentuk dan fungsi, baik Kerajaan Inggris maupun Keraton Yogyakarta menunjukkan bagaimana institusi tradisional dapat bertahan dalam sistem negara modern, dengan tetap menerima dukungan finansial dari negara.

Di Inggris, monarki berperan dalam diplomasi dan simbol negara, dan mendapat pendanaan dari sebagian keuntungan aset kerajaan yang diserahkan ke negara. Di Yogyakarta, Keraton memiliki peran simbolik dan budaya, serta berkontribusi dalam pelaksanaan program daerah melalui Danais.