Luhut Binsar Pandjaitan, dalam Acara B20
Tren Ekbis

Pelan tapi Pasti, 'Gurita' Luhut Kuasai Diplomasi hingga Ekonomi RI

  • Menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, dinamika elite politik dan ekonomi Indonesia mulai berubah. Popularitas Jokowi masih tinggi di mata rakyat, tapi pengaruh keluarganya di lingkar kekuasaan tampak mulai surut.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA – Menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, Oktober 2024 lalu, dinamika elite politik dan ekonomi Indonesia mulai berubah. Popularitas Jokowi masih tinggi di mata rakyat, tapi pengaruh keluarganya di lingkar kekuasaan tampak mulai surut.

Di tengah kondisi itu, satu nama lama justru kian menegaskan posisinya yaitu Luhut Binsar Pandjaitan. Bukan hanya dirinya, tapi juga jaringan keluarga.

Di saat perhatian publik terfokus pada manuver politik Gibran Rakabuming Raka atau Kaesang Pangarep, keluarga Luhut perlahan tapi pasti menempati kursi-kursi strategis di bidang militer, diplomasi, hingga ekonomi.

Mari mulai dari Jenderal Maruli Simanjuntak, menantu Luhut, suami dari Paulina Pandjaitan. Pada akhir 2023, Maruli resmi menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) jabatan tertinggi di Angkatan Darat.

Secara resmi, gaji pokok KSAD sekitar Rp5–6 juta per bulan, tapi jika dihitung dengan tunjangan jabatan, operasional, dan fasilitas, nilai totalnya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Yang lebih penting bukan sekadar angka, tapi pengaruh. KSAD adalah posisi kunci untuk urusan pertahanan, politik militer, dan stabilitas nasional. 

Dalam sejarah politik Indonesia, posisi ini selalu strategis untuk membangun pengaruh jangka panjang. Lanjut ke Nurmala Pandjaitan Sjahrir, adik kandung Luhut. Ia saat ini sedang menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR untuk menjadi Duta Besar RI untuk Jepang.

Bukan nama baru di jalur diplomasi, Nurmala sebelumnya menjabat sebagai Dubes RI untuk Argentina. Gaji dubes resmi bisa tembus lebih dari Rp150 juta per bulan, belum termasuk rumah dinas, transportasi, dan tunjangan luar negeri. 

Namun lebih signifikan adalah akses ke jalur diplomasi, lobi internasional, dan reputasi politik. Penunjukan ke Jepang, salah satu mitra dagang utama Indonesia, menegaskan sektor diplomasi jadi bagian penting dari orbit keluarga Pandjaitan.

Lalu ada Pandu Sjahrir, anak Nurmala sekaligus keponakan Luhut. Namanya dikenal luas di dunia investasi dan startup. Pandu menjabat sebagai Chief Investment Officer di Danantara, sekaligus komisaris di berbagai perusahaan strategis: Bursa Efek Indonesia, GoTo, hingga Toba Bara perusahaan tambang batu bara yang sering dikaitkan dengan nama besar sang paman.

Pendapatannya? Bisa menembus miliaran rupiah per tahun. Sektor yang ia sentuh bukan main-main, tambang, energi, keuangan digital. Melalui Pandu, pengaruh keluarga Luhut meluas ke jantung perekonomian nasional.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius. Apakah keluarga Luhut sedang merancang dinasti politik dan ekonomi yang baru, ketika keluarga Jokowi mulai menepi dari panggung kekuasaan? Ataukah semua ini hanya rangkaian “pencapaian pribadi” yang kebetulan saling terkait?

Yang jelas, dalam politik Indonesia, garis keluarga dan jaringan lama tak pernah bisa dilepaskan dari kursi-kursi strategis. Publik berhak mengawasi: apakah distribusi kekuasaan ini untuk kepentingan negara, atau justru untuk melanggengkan pengaruh segelintir elite di belakang layar?