<p>Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Rabu (11/3/2020). Kementerian Perhubungan secara resmi mengumumkan rencana kenaikan tarif ojek online khusus untuk zona 2 (Jabodetabek) per 16 Maret 2020 yaitu naik Rp250 untuk tarif batas bawah (TBB) dan Rp150 untuk tarif batas atas (TBA). ANTARA FOTO/Fauzan/foc.</p>
Tren Ekbis

Pekerja Informal Kena Mental: Dari Jalanan hingga Layanan Marketplace

  • Pekerja informal seperti ojol dan outsourcing di Indonesia menghadapi pendapatan menurun, jam kerja panjang, dan minim jaminan sosial. Simak kisah, tantangan dan bagaimana cara memutus rantai masalah tersebut.

Tren Ekbis

Muhammad Imam Hatami

SOLO, TRENASIA.ID – Dwi Bagaskara belakangan kerap uring-uringan. Pengemudi ojek online (ojol) di Kota Solo ini merasa pendapatannya semakin jauh dari stabil. Orderan yang dulu relatif mudah didapat kini semakin sulit. Penghasilannya pun turun signifikan. 

Jika sebelumnya ia mampu membawa pulang hingga Rp300 ribu per hari dengan bekerja rajin, kini pendapatan sebesar Rp100 ribu per hari pun sudah lumayan. Dari Rp100 ribu yang diperoleh, sekitar Rp30 ribu harus dialokasikan untuk biaya bensin, belum termasuk biaya perawatan sepeda motor yang tidak sedikit. 

Meningkatnya jumlah pengemudi yang bersaing di jalan membuat pemasukan harian semakin tertekan. “Sekarang dapat orderan nggak segampang dulu. Mungkin karena driver makin banyak, jadi rebutan order. Belum biaya bensinnya," ujar Bagaskara saat ditemui TrenAsia.id belum lama ini. 

Untuk tetap bertahan, lelaki 29 tahun ini mengatur strategi dengan beroperasi pada jam-jam ramai serta mendaftar di dua aplikasi sekaligus. Tips klasik yakni menekan pemgeluaran sehari-hari juga dia jalani.

“Saya narik pas pagi, saat orang berangkat kerja atau sore saat pulang kerja, biar peluang dapat order lebih besar. Saya juga gabung di dua aplikasi sekaligus. Jadi kalau satu lagi sepi, bisa coba yang lain,” tambah Bagaskara. Dia menilai pekerjaannya saat ini tidak dapat dijadikan tumpuan jangka panjang karena ketiadaan jaminan kesehatan dan pensiun. 

“Kalau untuk jangka panjang, jujur saja, saya ragu. Memang sekarang banyak yang pilih jadi driver ojol karena fleksibel, nggak terikat jam kerja, dan bisa langsung dapat uang harian. Tapi untuk masa depan, apalagi kalau sudah berkeluarga, penghasilannya terlalu tidak pasti,” ujarnya.

Tekanan Fisik dan Mental

Di tempat lain, Anas Rizki, seorang pekerja outsourcing di layanan pelanggan sebuah marketplace di Solo, juga merasakan beratnya tuntutan pekerjaan yang menguras tenaga sekaligus pikiran. 

Setiap hari ia harus menghadapi target kerja yang ketat, ritme panggilan dan keluhan pelanggan yang padat, serta tekanan untuk selalu menjaga kualitas layanan. Beban tersebut tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga memberikan tekanan mental.

“Kerjaannya itu ya banyak ngobrol sama orang, jawab pertanyaan, tangani keluhan, kadang juga harus jelasin hal teknis. Capainya bukan cuma fisik, tapi mental juga lumayan terkuras. Setiap hari ketemu karakter orang yang beda-beda, ada yang sabar, ada juga yang suka marah-marah,” ceritanya.

Meski mendapatkan perlindungan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, fasilitas penunjang seperti uang makan atau tunjangan transportasi tidak disediakan. Seluruh kebutuhan yang berkaitan dengan pekerjaannya, mulai dari biaya makan siang hingga transportasi harian, harus ditanggung sendiri. 

Ilustrasi customer service di marketplace. (istock)

Sementara itu, pendapatan yang diterima cenderung stagnan, tidak sebanding dengan meningkatnya biaya hidup. “Bahkan cenderung menurun kalau dibandingkan sama beban kerja. Gaji pokok memang tetap, tapi bonus atau insentif sekarang nggak sebesar dulu. Padahal tuntutan kerja tetap tinggi,” ujar pekerja 25 tahun itu.

Kontrak kerja yang hanya berlangsung enam bulan hingga satu tahun menambah beban kekhawatiran. Ancaman tidak diperpanjangnya masa kerja selalu menghantui. “Karena saya outsourcing, kontraknya biasanya setahun atau bahkan cuma enam bulan. Kalau performa dianggap kurang atau perusahaan klien nggak perpanjang kontrak, ya langsung selesai,” tutur Anas.

Ketidakpastian ini memaksa Anas untuk mencari jalan lain demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di luar jam kerjanya, ia memanfaatkan peluang usaha dengan berjualan secara online dan mengelola media sosial, berupaya menambah pemasukan agar dapat bertahan di tengah kondisi kerja yang serba terbatas dan tidak menentu.

"Saya harus benar-benar atur pengeluaran. Bikin daftar prioritas bulanan, mana yang penting banget dan mana yang bisa ditunda. Kalau makan siang, seringnya bawa bekal dari rumah biar hemat. Kadang juga cari tambahan kerja freelance di luar jam kerja," ungkapnya. 

Gurita Masalah Pekerja Informal

Permasalahan dalam sektor informal seperti gig economy dan outsourcing di Indonesia diketahui sudah bersifat multidimensi. Hal itu mencakup upah yang tidak layak, lemahnya perlindungan hukum, serta ketidakpastian kerja yang bersifat sistemik. 

Status hukum pekerja outsourcing kerap berada di wilayah abu-abu. Meskipun telah bekerja bertahun-tahun di perusahaan pengguna, mereka tidak diakui sebagai karyawan tetap. 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/2013 tentang Ketenagakerjaan memperbolehkan penggunaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam sistem outsourcing untuk pekerjaan yang objeknya tetap, namun dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) apabila tidak disertai pengalihan perlindungan hak-hak pekerja saat terjadi pergantian perusahaan pelaksana pekerjaan. 

Ketentuan yang seharusnya memberikan perlindungan ini kerap diabaikan, sehingga pekerja tetap rentan mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon. Hasil riset Universitas Gajah Mada Berjudul “Mengukur Ekonomi Gig di Indonesia: Tipologi, Karakteristik, dan Distribusi,” mengungkap pengemudi ojek daring umumnya memiliki jam kerja yang sangat panjang, dengan rata-rata mencapai 57 jam per minggu. 

Banyak di antara mereka mengeluhkan harus bekerja lebih dari 12 jam sehari, mulai pagi hingga larut malam, namun hanya mendapatkan sekitar 10–12 penumpang.  Selain itu, pekerja di sektor gig economy yang berstatus “mitra” pada platform digital seperti Gojek dan Grab kehilangan hak atas jaminan sosial, dengan 75% di antaranya tidak memiliki akses terhadap asuransi kesehatan atau dana pensiun. 

Di Indonesia, akses terhadap BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja gig juga terbatas karena status mereka tidak terdaftar sebagai penerima upah. Kondisi ini mendorong seruan untuk transformasi kebijakan yang mendesak. 

Ha itu termasuk penetapan upah minimum berbasis biaya hidup untuk pekerja gig, integrasi BPJS bagi pekerja non-formal, serta pengawasan ketat terhadap praktik outsourcing yang abusif.  Tanpa intervensi regulasi, ketimpangan di sektor ini dikhawatirkan akan semakin memperdalam krisis prekariat di era digital.

Dorong Fasilitas dan Insentif

Guru Besar Ilmu Manajemen, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, mengungkap, untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan bagi pekerja outsourcing dan pengemudi ojek online (ojol), diperlukan kebijakan yang memberi mereka akses pada fasilitas dan insentif layaknya pelaku UMKM atau ekonomi kreatif. 

Dukungan bisa berupa bantuan modal usaha, pelatihan manajemen keuangan, dan pendampingan hukum agar mereka mampu meningkatkan nilai tambah dari pekerjaan yang dilakukan. 

Perlindungan hukum dan jaminan sosial juga harus diperkuat, sehingga pekerja outsourcing dan ojol memiliki kepastian pendapatan, hak cuti, serta akses BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. 

Baca juga : Mendamba Demokratisasi di Perusahaan Transportasi Berbasis Aplikasi, Mungkinkah?

Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi pekerja yang rentan, tetapi juga bagian dari ekosistem ekonomi yang produktif dan berdaya saing. Menurut Anton, dunia pendidikan dan pelatihan vokasi juga harus diarahkan agar mampu membekali calon tenaga kerja. 

Hal itu termasuk untuk pekerja outsourcing dan ojol dengan keterampilan yang relevan, baik untuk memenuhi kebutuhan industri maupun untuk menciptakan usaha mandiri. "Minimal bekali mereka kemampuan menjadi tenaga kerja mandiri yang bisa menciptakan pekerjaan sendiri,” ujar Anton.

Liputan ini didukung program fellowship “Kesejahteraan Buruh dan Kelas Menengah di Tengah Himpitan Ekonomi” oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta.