
Pajak Kripto Mau Dirombak, Ini Artinya Buat Cuan Kamu
- Perubahan fundamental ini tentu akan berdampak langsung pada caramu membayar pajak dari keuntungan (cuan) kripto.
Tren Pasar
JAKARTA – Siap-siap, para trader dan investor aset kripto! Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan baru saja memberikan sinyal kuat bahwa aturan main mengenai pajak kripto di Indonesia akan segera dirombak total dalam waktu dekat.
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengungkapkan alasan utama di balik rencana ini. Status aset kripto secara resmi akan diubah: dari yang sebelumnya dianggap sebagai komoditas, kini akan digolongkan sebagai instrumen keuangan.
Perubahan fundamental ini tentu akan berdampak langsung pada caramu membayar pajak dari keuntungan (cuan) kripto. Lantas, apa saja yang berubah dan kenapa pemerintah mengambil langkah ini sekarang? Mari kita bedah lima poin pentingnya.
- Komdigi Dikepung Kontroversi: Bukan Cuma Soal WhatsApp, Ini 5 Kebijakan yang Jadi Sorotan
- Tak Bisa Diremehkan, India Kembangkan Teknolgi AI Mandiri
- Pengguna BRImo Tumbuh 21,2 Persen Capai 42,7 Juta User
1. Perubahan Status: Dari Komoditas Jadi Instrumen Keuangan
Inilah inti dari semua perubahan yang akan datang. Pemerintah tidak lagi melihat Bitcoin, Ethereum, dan aset kripto lainnya setara dengan kopi atau sawit. Kini, aset digital dipandang setara dengan instrumen keuangan lain seperti saham atau obligasi.
“Dulu kami mengatur kripto itu sebagai bagian dari commodities, kemudian ketika dia (kripto) beralih kepada financial instrument, maka aturannya harus kita sesuaikan,” ujar Bimo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 22 Juli 2025.
2. Aturan Lama yang Akan Ditinggalkan
Selama ini, kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 tahun 2022. Aturan ini menetapkan skema pajak yang sangat sederhana dan tergolong salah satu yang paling rendah di dunia, karena statusnya sebagai komoditas.
Skema yang berlaku saat ini adalah pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% dari nilai setiap transaksi. Skema inilah yang kemungkinan besar akan direvisi atau diganti total.
3. Lalu, Seperti Apa Potensi Skema Pajak Barunya?
Meskipun detail aturan barunya masih digodok oleh DJP, perubahan status kripto menjadi instrumen keuangan memberikan petunjuk besar. Skema pajak untuk instrumen keuangan biasanya memiliki pendekatan yang sangat berbeda dibandingkan dengan komoditas.
Pajak komoditas seringkali bersifat final dan dikenakan atas setiap transaksi, seperti skema lama. Namun, pajak instrumen keuangan seperti saham umumnya berfokus pada capital gain atau keuntungan modal yang didapat saat aset tersebut dijual.
Artinya, ada kemungkinan skema pajak baru akan bergeser dari pajak transaksi kecil menjadi pajak atas profit. Jika ini terjadi, maka perhitungan dan pelaporan pajak bagi para trader dan investor kripto di masa depan bisa menjadi lebih kompleks.
4. Ledakan Transaksi Kripto di Indonesia
Langkah pemerintah ini sangat beralasan jika melihat masifnya pertumbuhan pasar kripto di tanah air. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah investor kripto di Indonesia telah mencapai 14,16 juta orang hingga April 2025.
Bukan hanya jumlah investor, nilai transaksinya pun luar biasa besar. Hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025, total transaksi aset kripto di Indonesia berhasil menembus angka Rp109,3 triliun, menunjukkan betapa likuid dan aktifnya pasar ini.
5. Salip 'Judol' & Jadi Andalan Pajak Negara
Untuk memberikan gambaran, nilai transaksi kripto sebesar Rp109,3 triliun itu ternyata lebih dari dua kali lipat perputaran uang di judi online ('judol') pada periode yang sama. Ini membuktikan bahwa aktivitas ekonomi di pasar kripto jauh lebih signifikan.
Potensi ini sudah terbukti menjadi sumber penerimaan negara yang baru. Sejak aturan pajak kripto pertama kali diterapkan pada tahun 2022 hingga Maret 2025, pemerintah telah berhasil mengumpulkan total pajak sebesar Rp1,2 triliun dari para trader dan investor.