Sempat Tak Rilis Data Enam Bulan, China Umumkan Tingkat Pengangguran Capai 14,9 Persen
Tren Global

'Overdosis' Kampus, Minim Kualitas: Pengangguran Terdidik Kian Melesat

  • Indonesia memiliki 3.277 perguruan tinggi, yang mayoritas (90%) merupakan kampus swasta, terbanyak kedua di dunia. Sayang, banyaknya jumlah kampus belum sejalan dengan kualitas dan relevansi pendidikan yang ditawarkan.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Tingkat pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi Indonesia mengalami lonjakan signifikan setahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran lulusan S1 hingga S3 naik dari 5,25% pada Februari 2024 menjadi 6,23% pada Februari 2025. 

Secara absolut, ini berarti sekitar 1,1 juta sarjana menganggur, di tengah total 7,28 juta pengangguran nasional. Kondisi ini menjadi semakin memprihatinkan mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah universitas terbanyak kedua di dunia setelah India. 

Data Statista 2023 mencatat, Indonesia memiliki 3.277 perguruan tinggi, yang mayoritas (90%) merupakan kampus swasta. Sayangnya, banyaknya jumlah kampus belum sejalan dengan kualitas dan relevansi pendidikan yang ditawarkan.

Artikel opini di Deep Publish karya Sumanto Al Qurtuby, pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, turut menjelaskan jika kuantitas kampus di Indonesia belum sejalan dengan kualitasnya.

Kampus Banyak, Dosen Minim Praktik Industri

Kuantitas kampus tidak dibarengi kualitas dosen dan metode pembelajaran. Menurut LLDIKTI 2024, kurang dari 10% dosen memiliki pengalaman kerja di industri lebih dari dua tahun. Alhasil, pengajaran di kelas cenderung teoritis dan tidak menyentuh persoalan dunia nyata.

Di sisi riset, hanya 12% penelitian kampus yang berhasil dikomersialisasikan, dan hanya 7% yang benar-benar menjawab kebutuhan industri. Sementara itu, akademisi lebih fokus mengejar jumlah publikasi untuk menaikkan peringkat kampus, bukan pada paten atau inovasi nyata. 

Ironisnya, meski Indonesia menjadi pemuncak publikasi ilmiah di ASEAN, negara ini justru terpuruk di peringkat 87 dunia dalam Global Innovation Index 2024.

“Beberapa kali kita mendapatkan unggahan di media sosial yang mem-bully kita semua karena publikasi Indonesia meski banyak tapi abal-abal. Jurnalnya tidak jelas, jurnal predator,” ungkap Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam, di Jakarta beberapa waktu lalu.

Overkapasitas dan Ketimpangan

Nizam bahkan mengakui jumlah kampus Indonesia sudah “melebihi kebutuhan” nasional. Lebih dari 48% kampus terkonsentrasi di Jawa, menciptakan ketimpangan regional dalam akses dan kualitas pendidikan tinggi.

Sejak 2022, terdapat tren penurunan jumlah kampus sekitar 0,25% per tahun, akibat tekanan ekonomi dan menurunnya minat kuliah di kalangan muda. Sejumlah perguruan tinggi unggulan seperti Universitas Indonesia (UI), ITS, dan PENS telah menunjukkan arah pembenahan. 

UI, misalnya, naik ke peringkat 189 dunia versi QS WUR 2026 dan memimpin dalam employability di Indonesia. Kolaborasi riset seperti ITS dengan MIND ID untuk baterai EV, dan program sertifikasi global di PENS, telah menaikkan serapan kerja lulusan hingga 98%.

Namun, berbagai inisiatif positif yang telah dilakukan sejumlah kampus masih bersifat sporadis dan belum merata secara nasional. Untuk menjawab berbagai tantangan  diatas dibutuhkan reformasi sistemik dalam pendidikan tinggi. 

Mendekati puncak bonus demografi nasional pada 2028–2030, Indonesia berisiko menghadapi krisis pengangguran berpendidikan tinggi jika sistem pendidikan tidak segera dibenahi. 

Gelar sarjana tetap relevan, tetapi hanya jika dibarengi dengan keterampilan masa depan, portofolio nyata, dan koneksi nyata dengan dunia industri.