
Olahraga Middle Class Kena Pajak 10 Persen, Golf Aman
- Pajak hiburan baru diberlakukan untuk olahraga populer. Namun, publik bingung karena golf dikecualikan. Benarkah ini soal keadilan atau tekanan elite?
Tren Leisure
JAKARTA – Wacana penerapan pajak hiburan 10% pada sejumlah aktivitas olahraga memicu protes publik, terutama di kalangan kelas menengah. Kegiatan seperti yoga, futsal, padel, hingga event lari komunitas kini masuk kategori hiburan yang wajib dipajaki, karena dianggap berlangsung di tempat khusus, memakai alat, dan bersifat komersial.
Hal ini menimbulkan keresahan, terutama bagi warga yang rutin mengalokasikan anggaran untuk menjaga kebugaran. Bayangkan, biaya sewa lapangan futsal, kelas yoga berbayar, atau tiket lomba lari komunitas yang sudah tak murah kini dibebani pungutan tambahan.
Beberapa pengelola lapangan padel di Jakarta bahkan mengaku kaget ketika mendadak diminta memungut pajak hiburan dari pelanggan. Di sisi lain, olahraga yang selama ini identik dengan kalangan atas seperti golf justru dikecualikan dari pajak hiburan. Padahal, golf dimainkan di lapangan luas dengan iuran klub selangit, alat mahal, dan segmentasi eksklusif.
Alasan Padel Dipungut Pajak
Gubernur Jakarta Pramono Anung Wibowo menyampaikan alasan pemerintah daerah mengenakan pajak hiburan 10% untuk penyewaan lapangan padel. Menurut Pramono, olahraga yang sedang naik daun di ibu kota itu adalah bagian dari olahraga hiburan.
Pemerintah Jakarta mengenakan pajak hiburan tersebut agar adil dengan olahraga lainnya. Saat ini, kata Pramono, sejumlah olahraga lainnya juga terkena pajak 10% di Jakarta. "Masa ini (padel) enggak kena? Apalagi yang main padel kan rata-rata orang yang mampu," kata Pramono dalam keterangan tertulis, Sabtu, 5 Juli 2025.
Kontras ini menimbulkan kritik. Publik menilai kebijakan tersebut justru membebani masyarakat kelas menengah yang berusaha hidup sehat, sementara fasilitas olahraga elite seperti golf terhindar dari pungutan serupa.
Pemerintah daerah berdalih kebijakan pajak hiburan perlu untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). Namun warga mempertanyakan keadilannya jika hanya menargetkan cabang olahraga populer dan terjangkau.
Kebingungan makin bertambah ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat mengaku mengetahui polemik pajak padel justru dari media sosial. Pejabat DKI menyebut aturan itu belum ditandatangani dan belum disosialisasikan.
Olahraga padel sebagai objek pajak hiburan sebesar 10% diatur dalam kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 yang kini ramai dibahas di media sosial. Namun pengelola lapangan sudah diminta memungut pajak dari pelanggan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah dasar hukum yang jelas sudah tersedia, atau aturan berubah-ubah mengikuti tekanan warganet?
Warga tidak menuntut penghapusan pajak sepenuhnya, melainkan meminta penjelasan yang masuk akal dan penerapan aturan yang adil. Bagi banyak orang, olahraga bukan hiburan mewah, tapi kebutuhan mendasar untuk kesehatan. Jika logika pajak hiburan adalah “aktivitas di tempat khusus yang membuat keringatan”, maka hampir semua aktivitas fisik rakyat bisa kena pajak serupa di masa depan.