
OECD Kembali Downgrade Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI, Sentimen Domestik Jadi Sumber Tekanan
- OECD memperkirakan permintaan domestik akan mulai pulih bertahap pada semester dua 2025 hingga 2026. Pulihnya konsumsi dan meredanya tekanan harga diprediksi akan mendorong inflasi ke level 2,3% pada 2025 dan 3% pada 2026.
Tren Pasar
JAKARTA - Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam laporan terbaru yang dirilis awal Juni 2025. Proyeksi PDB Indonesia untuk 2025 diturunkan menjadi +4,7% YoY, dan +4,8% YoY untuk 2026.
Angka ini masing-masing lebih rendah 0,2 percentage point dibandingkan proyeksi Maret 2025. Revisi ini menandai pemangkasan outlook kedua dari OECD untuk Indonesia sepanjang 2025, menyoroti ketidakpastian lanjutan atas prospek pemulihan ekonomi nasional.
OECD juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi +2,9% YoY untuk 2025 dan 2026. Penurunan ini dipicu perlambatan signifikan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko akibat hambatan perdagangan dan ketidakpastian geopolitik.
- Aneka Resep Sate Jelang Idul Adha, Selera Indonesia yang Tak Pernah Gagal
- Tambang Nikel di Raja Ampat Rusak Lingkungan, Bahlil Hentikan Sementara Operasional PT GAG
- Satu Juta WNI Berobat Keluar Negeri Pertahun, Devisa Rp200 Triliun Menguap
Namun, OECD menegaskan bahwa pemangkasan outlook Indonesia terutama bersumber dari tekanan domestik, bukan dari dampak tarif AS. Ekspor Indonesia ke AS hanya berkontribusi kurang dari 2% terhadap PDB, sehingga dampaknya dianggap relatif terbatas.
Tekanan Domestik dan Risiko Eksternal Tumpang Tindih
Tekanan utama di dalam negeri berasal dari pelemahan konsumsi dan investasi swasta. OECD mencatat bahwa sentimen bisnis dan konsumen masih rapuh, diperparah oleh ketidakpastian fiskal pasca pemilu dan biaya pinjaman yang masih tinggi.
Dari sisi eksternal, kontraksi ekspor menjadi sinyal tambahan pelemahan. Data BPS menunjukkan ekspor Indonesia terkoreksi tajam -10,77% secara bulanan pada April 2025, seiring turunnya harga komoditas dan meningkatnya tensi perdagangan global.
OECD memperkirakan permintaan domestik akan mulai pulih bertahap pada semester dua 2025 hingga 2026. Pulihnya konsumsi dan meredanya tekanan harga diprediksi akan mendorong inflasi ke level 2,3% pada 2025 dan 3% pada 2026.
Namun risiko dari volatilitas global tetap tinggi. OECD memperingatkan potensi arus keluar modal akibat ketidakpastian global dan domestik. Hal ini dapat memperlemah rupiah, memperbesar defisit transaksi berjalan, dan meningkatkan risiko inflasi impor.
Peran Stimulus dan Strategi Fiskal ke Depan
Pemerintah menargetkan pertumbuhan +5,2% pada 2025, namun realisasi kuartal I hanya +4,87%. Konsumsi rumah tangga juga stagnan di +4,89%, menambah tantangan untuk mencapai target tahunan. Bank Indonesia pun memangkas proyeksi menjadi 4,6–5,4%.
Paket stimulus ekonomi jilid 2 yang diluncurkan pada libur sekolah Juni–Juli 2025 menjadi instrumen penting menjaga momentum. Fokus stimulus ini diarahkan untuk menopang konsumsi kelas menengah bawah dan mendukung sektor informal yang terdampak.
Ke depan, akselerasi belanja pemerintah dan optimalisasi Dana Investasi Danantara menjadi kunci. Jika dikelola efektif, Danantara bisa menjadi katalis fiskal baru yang memperkuat basis investasi dan menstimulasi aktivitas ekonomi yang lebih produktif.
OECD juga melihat peluang pemangkasan suku bunga sebagai sinyal akomodatif jangka menengah. Jika tekanan eksternal mereda, ruang kebijakan moneter dapat dimanfaatkan untuk mendorong pembiayaan sektor riil dan memperkuat pemulihan ekonomi nasional.
Strategi Diversifikasi Investasi di Tengah Risiko
Menyikapi ketidakpastian ini, Stockbit Sekuritas, dalam ulasannya bilang bahwa diversifikasi portofolio di berbagai kelas aset menjadi strategi krusial. Ini membantu mengelola risiko pasar dan menjaga stabilitas imbal hasil jangka pendek hingga menengah.
Perusahaan sekuritas tersebut memberikan opsi instrumen obligasi pemerintah dengan tenor pendek disebut masih menawarkan profil risk-reward yang menarik. Beberapa instrumen yang direkomendasikan antara lain SR022–T3 (tenor 3 tahun, yield 6,45%), PBS003 (tenor 2 tahun, yield 5,93%), dan PBS032 (tenor 1 tahun, yield 5,73%).
Dengan tekanan domestik dan global yang masih membayangi, efektivitas kebijakan fiskal, arah suku bunga, dan kemampuan menjaga stabilitas makro akan sangat menentukan. Tahun 2025 menjadi ujian bagi daya tahan dan ketepatan respons kebijakan Indonesia.