Kuota FLPP Rumah Subsidi.jpg
Tren Leisure

Murah Tapi Bikin Stres, Cerita Pembeli Rumah Subsidi Cicilan Rp1 Jutaan

  • Seorang pembeli rumah subsidi di Solo Barat mengungkap pengalaman pahit tinggal di hunian bersubsidi. Mulai dari bangunan retak, atap bocor, hingga drainase buruk—semua berujung pada tekanan mental dan fisik. Apakah rumah murah selalu sebanding dengan kualitas?

Tren Leisure

Muhammad Imam Hatami

SOLO - Program rumah subsidi dengan cicilan Rp1 jutaan kerap dipromosikan sebagai solusi kepemilikan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, bagi Abdul Hakim (31), seorang pegawai swasta yang membeli rumah subsidi di daerah penyangga kota Solo pada akhir 2023.

Pengalaman tinggal di rumah tersebut justru menimbulkan tekanan mental dan fisik. “Awalnya saya bersyukur bisa punya rumah sendiri, apalagi pengembang bilang ini proyek pemerintah,” ujar Hakim saat ditemui TrenAsia di rumahnya, belum lama ini.  

Hakim diketahui  membeli unit tipe 45 dengan luas bangunan 45 meter persegi dan luas tanah 60 meter persegi. Untuk menebus rumah tersebut Hakim diketahui membayar cicilan Rp1,1 juta per bulan melalui skema KPR bersubsidi yang difasilitasi bank pelat merah, dengan tenor 15 tahun. 

Ekspektasinya saat itu tinggi, apalagi brosur pengembang menjanjikan lingkungan asri, bangunan kokoh, dan lokasi strategis. Namun, hanya dalam hitungan bulan, berbagai masalah mulai muncul. 

Dinding rumah mengalami keretakan halus, cat mudah mengelupas, dan atap mulai bocor saat musim hujan. Hakim juga menemukan bahwa struktur dinding terasa tipis dan tidak solid saat diketuk. Ia menduga kualitas material yang digunakan berada di bawah standar.

Drainase menjadi masalah lain yang lebih mengganggu dan berdampak langsung pada kenyamanan penghuni. Saat hujan deras turun, air tidak mengalir dengan lancar karena ukuran saluran pembuangan yang terlalu kecil dan tidak didesain secara optimal. 

Akibatnya, genangan air kerap muncul di halaman depan rumah. Warga terpaksa bergotong royong membersihkan selokan secara berkala karena tidak ada penanganan dari pihak pengembang.

“Pernah air hujan hampir masuk ke dalam rumah karena aliran buangannya mampet semua,” keluhnya. Selain itu, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau nyaris tidak tersedia, membuat lingkungan terasa sempit dan kurang nyaman untuk ditinggali bersama keluarga.

Menurut Hakim, masalah-masalah tersebut membuat rumah yang awalnya menjadi impian justru berubah menjadi sumber stres. Ia merasa pemerintah seharusnya lebih ketat dalam mengawasi pengembang agar proyek rumah subsidi tidak hanya mengejar kuantitas tetapi juga kualitas.

“Saya bukan nyesel beli, tapi saya nggak nyangka rumah bersubsidi bisa separah ini,” katanya. Ia pun menyarankan calon pembeli untuk tidak langsung tergiur harga murah dan lebih cermat menelusuri reputasi pengembang serta kondisi lingkungan perumahan.

Pengalaman Hakim menunjukkan bahwa harga terjangkau tidak selalu sejalan dengan kenyamanan dan kelayakan hunian. Rumah subsidi seharusnya tak hanya menjadi proyek kepemilikan formal, tetapi juga menjamin kehidupan yang aman, sehat, dan layak bagi para penghuninya.