putri-nabila-V3NC4xG_CA0-unsplash (1).jpg
Tren Global

Mungkinkah Kalimantan, Sabah-Sarawak, dan Brunei Bersatu Jadi Negara Baru? Ini Analisisnya

  • Bagaimana jadinya jika Kalimantan Indonesia, Sabah-Sarawak Malaysia, dan Brunei membentuk satu negara baru? Artikel ini membahas potensi ekonomi, kekayaan sumber daya alam, tantangan politik, dan dampaknya bagi peta kekuatan ASEAN dan geopolitik Asia Tenggara.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Bayangkan sebuah negara baru yang lahir dari penyatuan Kalimantan Indonesia, Sabah-Sarawak Malaysia, dan Brunei Darussalam. Bukan hanya peta Asia Tenggara yang berubah, tapi juga peta kekuatan geopolitik dan ekonomi kawasan. 

Sebuah entitas yang menguasai seluruh Pulau Kalimantan, lengkap dengan kekayaan sumber daya alam, potensi ekonomi tinggi, dan lokasi strategis, bisa menjadi kekuatan baru ASEAN atau malah sumber instabilitas baru. 

Jika digabung, wilayah ini akan mencakup seluruh Pulau Kalimantan dengan luas lebih dari 740.000 kilometer persegi, lebih besar dari gabungan Jerman dan Inggris. Pulau ini adalah rumah bagi hutan hujan tropis terbesar di Asia dan sekitar 3% biodiversitas dunia, menjadikannya paru-paru penting bagi bumi dan potensi besar bagi ekowisata dan bioteknologi.

Penduduk Sedikit, Tapi Potensi Melimpah

Meski jumlah penduduknya hanya sekitar 23 juta jiwa, negara ini punya keunggulan strategis, kepadatan rendah, akses terhadap alam, dan kemudahan dalam tata kelola wilayah. Namun, tantangan sosial juga membayangi. Komposisi etnis yang beragam, dari Dayak, Iban, Melayu, hingga Tionghoa bisa jadi kekuatan multikultural atau sebaliknya, pemicu gesekan jika tidak dikelola secara inklusif.

Gabungan ketiga wilayah ini menyimpan kekuatan ekonomi luar biasa. Brunei memiliki cadangan gas alam terbesar keempat di ASEAN, Kalimantan Timur dikenal sebagai pusat tambang batubara dan sawit, sementara Sabah-Sarawak kaya dengan minyak, hasil laut, dan potensi hydropower. 

Jalur pelayaran di sekitar wilayah ini pun penting secara logistik, menghubungkan Laut China Selatan, Selat Karimata, dan Laut Sulawesi. Jika bersatu, kawasan ini bisa menjadi pemasok utama energi dan pangan untuk kawasan Asia-Pasifik.

Kekuatan Ekonomi dan Proyeksi GDP

Berdasarkan estimasi kasar, jika wilayah ini menjadi negara tersendiri, GDP gabungannya bisa mencapai US$150–180 miliar, setara dengan Qatar atau Vietnam saat ini. 

Dengan penduduk relatif kecil namun kekayaan alam yang melimpah, GDP per kapita bisa melesat hingga US$18.000, dua kali lipat dari Indonesia sekarang. Sektor unggulan pun beragam, mulai dari energi terbarukan, industri herbal, kehutanan berkelanjutan, hingga pariwisata berbasis lingkungan.

Setiap wilayah berkontribusi secara spesifik. Brunei berperan dalam pengembangan finansial dan teknologi migas, Sabah-Sarawak menopang energi hijau dan hasil hutan, sementara Kalimantan berkontribusi dalam pertambangan, sawit, serta keanekaragaman hayati untuk sektor farmasi. Bila terintegrasi dengan baik, mereka berpotensi menjadi blok ekonomi baru di ASEAN dengan orientasi lingkungan dan energi bersih.

Rintangan Politik dan Budaya

Namun, di balik skenario ideal ini, tantangan politik dan budaya sangat besar. Brunei harus meninggalkan sistem monarki absolut, Indonesia dan Malaysia harus melepas wilayah kaya sumber daya alam, termasuk Sarawak yang menyumbang sekitar 40% pendapatan migas Malaysia. 

Di sisi lain, sejarah konflik seperti Konfrontasi Indonesia–Malaysia (1963–1966) serta sensitivitas adat dan etnis menambah rumit peta sosial-politik wilayah ini.

Satu pertanyaan penting adalah, siapa yang memimpin negara baru ini? Apakah Sultan Brunei, elite Sabah-Sarawak, atau pemerintah dari Kalimantan? Pembagian kekuasaan, sistem pemerintahan (federal vs sentralistik), dan pengelolaan sumber daya bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. 

Proyek kerjasama seperti Jalan Raya Trans-Borneo saja sempat tertunda hingga satu dekade karena birokrasi tiga negara. Bagaimana jika seluruh sistem digabung?

Secara hukum internasional dan politik dalam negeri, kemungkinan penyatuan ini nyaris nol. Referendum di tiap wilayah diperlukan dan tampaknya sulit mendapat restu dari pemerintah pusat, terutama Indonesia dan Malaysia. 

Brunei sendiri sudah menolak bergabung dengan Malaysia pada 1963, apalagi dengan entitas baru. Namun sejarah politik dunia menunjukkan bahwa krisis ekonomi atau konflik besar bisa memicu restrukturisasi negara yang tak terduga.

Jika skenario ini benar terjadi, masyarakat lokal mungkin jadi pihak yang paling diuntungkan, bebas visa, harga energi lebih murah, dan akses lapangan kerja yang lebih luas. Investor pun akan tertarik karena kawasan ini akan menjadi pasar tunggal dengan regulasi terpadu. 

Namun, Malaysia dan Indonesia bisa kehilangan sumber pendapatan besar dari migas dan kehutanan, serta potensi konflik wilayah. Bagi ASEAN, lahirnya negara baru yang terlalu dominan bisa menciptakan ketimpangan baru.